Langsung ke konten utama

Alpha


Langgam jawa sedang mengisi indera pendengaran. Aneka sajian berjajar rapi di meja, di sampingnya tampak deretan kursi baru terisi sebagian. Walimah kembali diadakan di sini. Tak seperti sebelumnya, kali ini aku tak lagi datang sendiri.

Rasanya sedari tadi ada yang sedang memerhatikan di seberang sana. Aku pun mencuri pandang lewat ekor mataku. Benarkah dia? Orang yang tiba-tiba membuat cerita, dimulai dari walimah yang digelar sebelumnya.
***

--Sepuluh tahun tahun sebelumnya--

Kubutuhkan waktu beberapa menit untuk mengingat nama orang yang sedang kutemui saat ini. Sepertinya tak asing, tapi juga bukan orang yang sudah kukenal. Basa-basi sekenanya saling kami lemparkan. Sebelum kuputuskan menerima helm merah yang diulurkannya, lalu mengekor di jok belakang motornya.

Kami tak banyak bicara, hanya beberapa potongan percakapan yang terbang terbawa angin. Tak terasa kolam teratai sudah di ujung jalan, tetapi lelaki ini tiba-tiba berbelok ke sisi kanan. Tanpa ragu berhenti di parkiran bangunan tua zaman Belanda. Mendadak pening, aku tak tahu apa yang sedang direncanakannya. Aku mulai protes dan mempertanyakan apa yang akan dilakukannya.

"Mau ngapain ke sini?", semoga dia bisa membaca kepanikan di kalimatku.
Tetapi pertanyaanku tak berjawab. Aku masih kesulitan membuka helm di kepala, dia pun tertawa. Sehari-hari aku lebih sering bergaul dengan angkot, membuatku tak akrab dengan perkakas satu ini. Dia pun membantuku membuka pengaitnya. Aku melihat ke arah lain, tak berani melihat wajahnya. Sambil menata detak jantung yang mulai berisik karena jarak yang terlalu dekat.

Jalanan lengang, kami pun menuju taman terbuka di seberang. Kelegaan hadir tiba-tiba, kusimpulkan lelaki ini bukan penculik yang membawaku ke tempat menyeramkan. Pohon-pohon besar berdiri kokoh di sekeliling. Tampak seperti tangan-tangan hijau yang setia melindungi dari mentari yang menghangat hari ini.

"Daripada bingung naruh motor, parkiran hotel tadi lebih aman. Ada satpam di sana," ujarnya membuka pembicaraan.
Mulutku pun membentuk huruf O. Tampaknya dia lebih paham kota ini daripada aku. Dan obrolan kami pun mulai mengalir sambil masih melangkahkan kaki. Tentang siapa dia, untuk apa dia di sini, tahu kontakku darimana, dan yang membuatku penasaran, "Apa kita pernah ketemu?"

"Lupa ya?", senyum itu kembali muncul ke permukaan.

Dan akupun menggaruk kepalaku yang memang mulai gatal. Tak usah main teka-teki, apalagi tanpa hadiah payung cantik. Di depan orang ini, mendadak IQ-ku turun kasta. Mengelilingi kolam melingkar ini sudah cukup membuatku pusing, ujiannya bisa dibuat mudah kah?

Aku pun berhenti di salah satu bangku kosong. Menikmati bunga yang habis waktu mekarnya. Biasanya selepas subuh kumpulan bunga air ini akan mengembang sempurna, tak seperti saat ini. Lelaki tadi ikut duduk, mengambil jarak namun masih di tempat yang sama.

"Kita ketemu bulan lalu. Eh, belum kenalan ya..," ia mengulurkan tangan, "Alpha".

Tunggu, siapa tadi namanya? Alpha? Seperti nama anak tetanggaku. Ah, tapi anak itu 6 tahun lebih muda dariku. Jelas bukan mas-mas yang saat ini di sampingku. Aku pun kembali tersadar saat dia kembali membuka percakapan yang sempat terhenti.

"Sering ke sini?"

"Hmm.. Dulu, bisa tiap hari sih," jawabku sekenanya.

"Kok bisa? Bukannya kampusmu tadi jauh ya dari sini?"

"Pernah tinggal deket sini. Pas galau, bengong aja depan kolam. Gratis ini. ", aku melengkungkan bibir. Ah, memangnya cuma dia yang bisa misterius. Kami pun berkeliling tanpa motor. Berjalan melewati sebuah penginapan tua yang berubah menjadi kost-an.

"Konon katanya ada yang mendengar tangisan tengah malam atau semacamnya. Tapi memang bangunan tua sih...Alhamdulillah saat tinggal di sini, tak ada yang aneh-aneh.", kutunjukkan tempat yang sempat kusinggung tadi. Semoga dia bukan orang yang bisa melihat makhluk halus atau semacamnya. Kalaupun bisa, tolong tak usah bercerita padaku.

Kaki kami masih melanjutkan langkah. Hingga sampai di barisan tanaman hidup, menanti pembeli yang sedia mengadopsi. Tentu saja bukan aku. Melihat pun sudah cukup bagiku, membangun mood yang sempat retak dihantam tugas sebagai maba. Sebutlah mawar, anggrek, kaktus, dan aku merasa tak pernah belajar biologi dengan benar karena tak tahu nama tanaman lainnya.

Rute pasar kembang tentu tak lengkap tanpa mampir pasar hewan di sebelah. Kali ini tampaknya giliran lelaki ini yang bersemangat. Dengan santai diambilnya sebuah hewan kecil bercangkang. Dengan mudah diangkat dan dibaliknya, sambil menunjukkan mana yang jantan dan betina. Aku tak begitu memerhatikan. Belakangan baru aku tahu memang itu bidang pendidikan yang diambilnya. Apa perlu kutambah gelar "tukang ikan" di belakang namanya?

Orang asing yang meminta ditemani berkeliling kota. Mana kutahu mau kemana, kota ini saja baru beberapa bulan kusinggahi. Kemana-mana angkot biru yang jadi pengantar setia, jangan harap aku tahu tempat elit bergengsi. Jadi jangan salahkan jika akhirnya terdampar di sini. Hari ini aku berhasil melakukan hal absurd luar biasa.

Aku tak punya banyak waktu, selepas dhuhur dia sudah mengantarku kembali ke asrama. Dia pun berpamitan sebelum pergi, entah kapan bisa bertemu lagi katanya. Sepertinya dia akan kembali ke rumahnya di luar kota. Kulambaikan tangan setelah menjawab salam darinya.
***

"Delta.. Halo.. Bikinin puisi dong.."
Mas Phi, saudara jauh yang belakangan sering muncul. Kali ini pasti untuk PDKT dengan calon dokter incarannya.

"Bikin sendiri dong.. Lagian hari gini masih musim PDKT pakai puisi???"

"Argh.. Susah banget sih menakhlukkan hati cewek ini. Kaya kamu tuh.."

"Lha kenapa jadi gue??? Eh, kamu ya yang ngasih nomorku ke Alpha?"

"Hahaha.. Iya, dia minta dikenalin pas acara manten kemarin. Gimana? Udah ketemu?"

Belum sempat kubalas pesan Mas Phi, ada panggilan masuk. Dari perempuan, kating beda jurusan yang sedang menungguku di depan asrama. Siapa lagi ini?

Basa-basi sekedarnya pada mbak berkacamata. Ternyata ada titipan dari lelaki yang siang tadi kutemui. Kutenteng bungkusan dalam kresek hitam disambut 'cie cie' tujuh penghuni kamar lainnya.

"Apa ini, Delta?"

"Tau, coba buka aja.."

Tak butuh waktu lama, dua potongan besar roti bakar terlihat menggugah selera. Coklat dan coklat kacang. Ah, apa tadi aku sempat bilang tak suka rasa stroberi?

"Konon kalau dapat makanan dari gebetan, harus dilangkahi tujuh kali lho..", celetuk Fatim dan diamini enam orang di sampingnya.

Aku pun tertawa, suka-suka kalian lah. Dan benar saja, itu makanan berkali-kali dilewati olehnya. Sebelum akhirnya tiap orang mengambil jatah. Tak ada yang keracunan, tak ada yang mendadak menyebut nama pengirim makanan sambil mabuk kepayang. Artinya aman dimakan. Aku pun ikut mengambil sepotong dan mengunyah isian coklat kacang di dalamnya.

Nada dering membubarkan keintimanku dengan roti bakar. Segera kuangkat panggilan masuk di ponselku.

"Udah sampai titipannya?", suara Alpha di ujung sana.

"Iya. Itu tadi siapa yang antar?"

"Makasih ya mas.. Kapan-kapan lagi...", Fatim ikut menyahut sebelum pertanyaanku dijawab oleh Alpha.

"Temanmu? Rame juga ya..", di seberang telepon tampaknya ia mendengar dengan jelas 'cie cie' berikutnya.

"Haha.. Ga kenal tuh.. Sekali lagi makasih. Udah dulu ya, mau ngerjain tugas".

Sambungan kuputus, berusaha memasang pokerface di depan penghuni kamar yang menanti cerita. Tapi tak semudah itu, Ferguso! Aku memilih bungkam saat mereka bertanya 'siapa itu?'.
***

Obrolan dengan Alpha menjadi rutinitas baru di antara kesibukan sebagai mahasiswa. Meski sebenarnya lebih banyak dia yang mendengarkanku bicara. Entah bagaimana dengan mudahnya kuceritakan apapun. Tentang adaptasi dengan tugas-tugas, tentang padatnya jadwal, tentang kangen mudik, ah.. Bahkan soal mantan pun tak sengaja kuujarkan.

"Masih inget mantan ya.. Siapa namanya.. Rho?", suatu hari dia mencoba menggodaku. Saatnya mengalihkan topik pembicaraan.

"Udah deh, itu masa lalu.. Ketemu aja nggak pernah".

"Haha.. Kamu aneh banget, pacaran tapi nggak pernah ketemu".

"Bukan pacar kali.. Temen ngobrol doang".

Kadang aku bingung apa yang ingin kubicarakan dengannya. Ada jarak usia, 3 atau 4 tahun ya? Ah, aku lupa tepatnya. Dan jarak pun bertambah ketika kami pun mulai sibuk dengan tantangan baru di depan mata. Tantangan mahasiswa baru Vs pengangguran baru (baca: baru lulus studi).

Sebenarnya tak ada yang salah dengan orang ini. Secara fisik terlihat sehat, rambut cepak dengan kulit sawo matang. Secara usia dan pemikiran sudah pasti Alpha selangkah lebih maju daripada gadis cengeng sepertiku. Tapi tetap saja ada sesuatu yang ganjil ketika dekat dengannya. Atau sebenarnya aku saja yang bersikeras mengosongkan ruang untuk masa lalu yang belum selesai?

Hingga aku pun tak sabaran memberi jeda pada hubungan kami. Di waktu yang sama, sepertinya Alpha sedang butuh dukunganku waktu itu. Aku saja yang egois. Kutaburkan alasan mengiyakan nasehat seorang guru menjauhi lawan jenis saat masih studi. Padahal aku sendiri tak yakin bisa bertahan dengan putusanku sendiri.
***

--Lima tahun berikutnya.--

"Tante Delta, ini siapa? Pacarnya ya?"
Aku tertawa mendengar pertanyaan Sasa. Anak enam tahun sudah tahu istilah pacaran. Sementara dua lelaki yang tak lain Om Sasa tak kalah ikut tergelak. Mas Ian memang sering ditemuinya, sementara Mas Phi mungkin baru pertama datang kemari.

"Emang pacar itu apa?", iseng kutanggapi celoteh Sasa.

"Itu lho yang suka ngasih bunga?"

"Yakin itu pacar? Bukan kuburan yang suka dikasih bunga?"

Gadis kecil itu mencebik. Tak percaya penjelasanku bahwa Mas Phi dan aku masih saudara.

Aku menyimak di sebelah dua lelaki yang kini asik bicara. Hingga Mas Phi buka suara untukku, tentang tanggal merah yang memberi jeda pekerjaan di hari ini. Semoga tak ada obrolan tentang Alpha kali ini.

Sebenarnya Alpha pernah mampir saat semester lima. Aku sendiri lupa apa yang kami bicarakan di bangku depan kost-an. Sementara di samping tampak jemuran anak-anak yang belum kering karena hujan. Aku hanya keluar memakai baju tidur warna hijau sambil meraih  bergo yang ada di jangkauan.

Aku tak curiga saat dia bertanya alamat kost-an. Toh dia ada di luar kota, batinku. Tapi tiba-tiba sebuah pesan masuk mengabarkan dia sudah ada di depan pagar.

"Alhamdulillah ya, sekarang tambah subur?", dia masih sempat berkomentar soal berat badanku. Ah, ini semacam kutukan barangkali, sering bertemu lelaki bermulut pedas. Dan aku berbaik sangka saja, bisa jadi itu efek logika yang lebih dominan daripada perasaan. Apa dia tidak tahu soal isu sensitif ini bagi perempuan. Siapa? Kamu perempuan? Sejak kapan kamu peduli terlihat langsing atau cantik sebagai perempuan, Delta?

Yang kutahu, pekerjaannya sudah mapan waktu itu. Tak lagi kutangkap suara galau pengangguran menanti panggilan kerja. Sementara aku semakin sering kacau dengan mengenakan 'seragam hitam', namun setidaknya masa laluku sudah benar-benar selesai. Meski bukan berarti Alpha akan mudah menempati ruang istimewa di hatiku.

Dan asal kalian tahu, pertanyaan level berikutnya setelah 'kapan lulus?' adalah 'kapan nikah?'. Aku mencium aroma yang mencurigakan dengan kemunculannya kali ini. Sebelum ada tunas baru di hati kami, aku memilih berhenti menyiram harapan. Biarlah dia menemukan orang yang lebih baik dan lebih sepadan dengannya.

Benar saja. Tak lama setelahnya, kabar baik datang. Alpha menikah dengan teman sekantornya. Jangan ditanya aku hadir atau tidak, tentu saja tak ada undangan yang kuterima. Siapa yang mau bertanggungjawab jika dia berubah pikiran.

Rasanya tak ada lagi akses bagiku melihat dunianya. Ya, sejak awal memang banyak jarak antara kami. Aku sendiri tak cukup percaya diri memperjuangkan kebersamaan. Kau tahu kan, apa yang terjadi pada bangunan yang kehilangan tiang di satu sisi? Tak akan bertahan lama hubungan tanpa dua pihak yang mau bertahan.

Melepas Alpha adalah sebuah kebanggaan bagiku. Wajar sebenarnya, mengiklaskan sesuatu yang memang bukan milik kita. Mungkin lebih mudah lagi jika ia tak pernah datang mengetuk hati. Apapun itu, semoga kau temukan bahagia dengan takdirmu di sana. Begitupun aku.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

JURNAL BELAJAR LEVEL 8 : CERDAS FINANSIAL

Dibutuhkan alasan yang kuat, mengapa kita perlu menerapkan cerdas finansial. Butuh pemahaman yang benar terlebih dahulu agar tak gagap dalam mengaplikasikan di kehidupan sehari-hari. Sehingga kita sebagai orangtua lebih mudah membersamai ananda di rumah menjadi pribadi yang seimbang, cerdas tak hanya IQ, SQ, EQ, tetapi juga cerdas secara finansial. Bukankah anak-anak adalah peniru ulung orangtuanya? Bicara tentang finansial, erat kaitannya dengan konsep rezeki. Motivasi terbesar kita belajar tentang rezeki kembali pada fitrah keimanan kita. Allah sebagai Rabb telah menjamin rezeki (Roziqon) bagi setiap makhluk yang bernyawa di muka bumi. Saat kita mulai ragu dengan jaminan Allah atas rejeki, maka keimanan kita pun perlu dipertanyakan. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, rezeki bermakna : re·ze·ki  n  1 segala sesuatu yang dipakai untuk memelihara kehidupan (yang diberikan oleh Tuhan); makanan (sehari-hari); nafkah; 2  ki  penghidupan; pendapatan (uang dan sebagainya untuk

Pulang ke Udik: Menggelar Kenangan, Membayar Hutang Kerinduan

Sebagai warga perantau, bagi Griya Wistara acara mudik bukan lagi hal baru. Entah pulang ke rumah orangtua di luar kota dalam propinsi maupun mertua yang lebih jauh, antar kota antar propinsi. Bukan hal mudah dalam mempersiapkan mudik, sebutlah H-3 bulan kami harus berburu tiket kereta agar tak kehabisan sesuai tanggal yang direncanakan. Pernah suatu waktu kami harus pasang alarm tengah malam, karena hari sebelumnya sudah kehabisan tiket kereta yang diharapkan. Padahal baru jam 00.15 WIB, artinya 15 menit dari pembukaan pemesanan. Belum lagi persiapan deretan kebutuhan selama sekian hari di kampung halaman. Mana barang pribadi, mana milik pasangan, dan persiapan perang ananda tak ketinggalan. Jangan tanya rancangan budget lagi, saat pengeluaran mendominasi catatan keuangan. Membawa sepaket koper alat perang, melipat jarak agar semakin dekat. Perjalanan selalu menyisakan hikmah. Bukan perkara mudah mengelola sekian jam di atas kereta bersama balita. Alhamdulillah, beberapa kali mele

Jurnal Belajar Level 7 : Semua Anak Adalah Bintang

Usia 0-6 tahun : selesai dengan diri sendiri. Salah satu tantangan yang paling identik dengan tema level 7 ini, adalah saat orangtua mulai galau dan membanding-bandingkan anaknya dengan anak orang lain. Atau yang paling dekat dengan saudara kandungnya sendiri. Seolah-olah anak harus mengikuti sebuah pertandingan yang belum tentu setara dengan dirinya. " Coba lihat, mas itu sudah bisa jalan. Kamu kok belum?" "Berani nggak maju ke depan seperti mbak ini? " Setiap anak memiliki sisi unik yang menjadikannya bintang. Allah tak pernah salah dalam membuat makhluk, maka melihat sisi cahaya dari setiap anak adalah keniscayaan bagi setiap orangtua. Berusaha dalam meninggikan gunung, bukan meninggikan lembah. Mengasah sisi yang memang tajam pada diri anak butuh kepekaan bagi orangtua. Dalam buku CPWU, dapat diambil teknik E-O-WL-W untuk menemukan kelebihan setiap anak. 1. Engage Atau membersamai anak dalam proses pengasuhan dan pendidikan dengan sepenuh hati (yang