Matahari tepat di atas kepala, pantas saja rasanya seperti sauna. Seperti biasa siang ini ada atraksi emak gendong-gandeng dua anak ditambah tas sekolah. Tanpa tiket khusus bisa ditonton dengan mudah.
Sebuah pohon cukup rindang menjadi pilihan berteduh sejenak di pinggir jalan. Saluran air berisi ikan cithul cukup untuk mengalihkan perhatian si sulung, menunggu ojek daring yang masih di perjalanan.
"Ikan apa sih ini, Bun?", tanyanya penasaran.
"Ikan cithul itu ..."
"Kok kaya kecebong?"
"Iya mirip, tapi kecebong warnanya hitam. Kepalanya lebih bulat."
Dan obrolan kami terjeda pagar yang terbuka. Seorang paruh baya membawa bungkusan plastik. Perlahan dimasukkan ke dalam tempat sampah di depan rumahnya. Sebuah senyum kulempar, sekedar rasa terimakasih untuk pohon teduh di depan rumahnya.
"Sekolah di situ, ya?", tanyanya membuka suara.
"Iya, Pak."
"TK, ya?"
"Iya, Pak."
"Umur berapa? Tiga?"
"Lima setengah."
"Kecil ya ... Segini umur lima."
Muncul sebuah lengkungan di bibirnya setelah sekian lama berbincang. Tapi ada rasanya berbeda saat kuterjemahkan. "Apa sedang terjadi body shamming di sini?", teriakku dalam hati.
"Pasti nggak mau makan, makanya kecil."
Rupanya bapak ini nggak tahu wujud emak ketika berubah menjadi singa. Ehem ... Baiklah!
"Saya juga kecil pak, wajar kalau anaknya nggak besar. Faktor bawaan juga."
"Oiya, bawaan mungkin."
Beruntung, seorang pengendara berjaket hijau berhenti tepat di depan kami. Menyebutkan namaku kemudian menyerahkan pelindung kepala.
"Monggo, Pak." Entah bapak pemilik rumah tadi mendengar sapaanku atau tidak. Tubuhnya telah menghilang di balik pagar.
Sepertinya ada gunanya juga nonton stand up comedy. Kalau ada yang nyoba nge-roasting, nggak usah baper. Roasting aja diri sendiri, siapa tahu lawan bicara kita happy lalu ngasih angpau cuma-cuma.
***
Jadi, saya sudah tak asing dengan kata-kata pendek, bulet, tomat, hingga bonsai. Faktanya memang saya semampai (satu meter tak sampai). Lalu kenapa? Apa Kalian jadi bebas mengatai ciptaan Allah ini?
Sebuah pohon cukup rindang menjadi pilihan berteduh sejenak di pinggir jalan. Saluran air berisi ikan cithul cukup untuk mengalihkan perhatian si sulung, menunggu ojek daring yang masih di perjalanan.
"Ikan apa sih ini, Bun?", tanyanya penasaran.
"Ikan cithul itu ..."
"Kok kaya kecebong?"
"Iya mirip, tapi kecebong warnanya hitam. Kepalanya lebih bulat."
Dan obrolan kami terjeda pagar yang terbuka. Seorang paruh baya membawa bungkusan plastik. Perlahan dimasukkan ke dalam tempat sampah di depan rumahnya. Sebuah senyum kulempar, sekedar rasa terimakasih untuk pohon teduh di depan rumahnya.
"Sekolah di situ, ya?", tanyanya membuka suara.
"Iya, Pak."
"TK, ya?"
"Iya, Pak."
"Umur berapa? Tiga?"
"Lima setengah."
"Kecil ya ... Segini umur lima."
Muncul sebuah lengkungan di bibirnya setelah sekian lama berbincang. Tapi ada rasanya berbeda saat kuterjemahkan. "Apa sedang terjadi body shamming di sini?", teriakku dalam hati.
"Pasti nggak mau makan, makanya kecil."
Rupanya bapak ini nggak tahu wujud emak ketika berubah menjadi singa. Ehem ... Baiklah!
"Saya juga kecil pak, wajar kalau anaknya nggak besar. Faktor bawaan juga."
"Oiya, bawaan mungkin."
Beruntung, seorang pengendara berjaket hijau berhenti tepat di depan kami. Menyebutkan namaku kemudian menyerahkan pelindung kepala.
"Monggo, Pak." Entah bapak pemilik rumah tadi mendengar sapaanku atau tidak. Tubuhnya telah menghilang di balik pagar.
Sepertinya ada gunanya juga nonton stand up comedy. Kalau ada yang nyoba nge-roasting, nggak usah baper. Roasting aja diri sendiri, siapa tahu lawan bicara kita happy lalu ngasih angpau cuma-cuma.
***
Jadi, saya sudah tak asing dengan kata-kata pendek, bulet, tomat, hingga bonsai. Faktanya memang saya semampai (satu meter tak sampai). Lalu kenapa? Apa Kalian jadi bebas mengatai ciptaan Allah ini?
Terlepas dari apa kata orang, jangan lupa katakan "I love my self" pada diri sendiri.
Komentar
Posting Komentar