Sebagai warga perantau, bagi Griya Wistara acara mudik bukan lagi hal baru. Entah pulang ke rumah orangtua di luar kota dalam propinsi maupun mertua yang lebih jauh, antar kota antar propinsi. Bukan hal mudah dalam mempersiapkan mudik, sebutlah H-3 bulan kami harus berburu tiket kereta agar tak kehabisan sesuai tanggal yang direncanakan. Pernah suatu waktu kami harus pasang alarm tengah malam, karena hari sebelumnya sudah kehabisan tiket kereta yang diharapkan. Padahal baru jam 00.15 WIB, artinya 15 menit dari pembukaan pemesanan.
Belum lagi persiapan deretan kebutuhan selama sekian hari di kampung halaman. Mana barang pribadi, mana milik pasangan, dan persiapan perang ananda tak ketinggalan. Jangan tanya rancangan budget lagi, saat pengeluaran mendominasi catatan keuangan.
Membawa sepaket koper alat perang, melipat jarak agar semakin dekat. Perjalanan selalu menyisakan hikmah. Bukan perkara mudah mengelola sekian jam di atas kereta bersama balita. Alhamdulillah, beberapa kali melewati hal ini membuat kami lebih mudah beradaptasi. Bahkan beragam fitrah ananda dapat disemai saat pulang ke udik. Rasanya lucu menyebut udik, sementara kampung halaman suami justru ada di ibu kota.
Sederetan tantangan saat mudik tetap saja tak mampu mengurungkan kami membayar hutang rindu pada tempat dimana kami dibesarkan. Berkelebat kenangan saat dulu pergi tarawih membawa oncor (obor bambu) saat lampu jalan belum terang benderang seperti kini. Saat mudik pun, pasangan tak ketinggalan menunjukkan pohon besar di kober, tempat jajan anak-anak selepas sholat ied. Bahkan bakso langganan pun masih ada di sana.
Lepas soal kenangan, tentu saja niat silaturahim yang utama. Sekian waktu di tempat jauh, tentu banyak hal yang tak bisa kami lakukan seperti saat bersua langsung dengan orangtua. Jangan bayangkan membawakan segepok berlian, sekedar menyapu halaman, memberi makan ayam, atau menemani ngobrol sambil menikmati tangan cekatan meracik lontong jualan. Ditambah celoteh sang cucu yang menjadi bumbu rindu, menambah panjang alasan kami untuk tetap mudik saat lebaran. Niat berbakti itu pasti. Meski harus diakui, kami justru masih sering menyusahkan.
Tahun ini kami memiliki cerita mudik berbeda. Sambil menanti kehadiran Wistara kedua, kami memutuskan mudik ke rumah orangtua yang jaraknya lebih dekat, bukan ke mertua di ibukota. Dan ternyata Allah memberi bonus istimewa. Kakak (Insya Allah) tak hanya bisa bertemu Kakung Uti, tapi juga Kakek Nenek dari ibu kota. Masih dengan ritual berburu tiket, bedanya kali ini atas nama mertua.
Tgk, 04 Juni 2018
Diawinasis M Sesanti
Belum lagi persiapan deretan kebutuhan selama sekian hari di kampung halaman. Mana barang pribadi, mana milik pasangan, dan persiapan perang ananda tak ketinggalan. Jangan tanya rancangan budget lagi, saat pengeluaran mendominasi catatan keuangan.
Membawa sepaket koper alat perang, melipat jarak agar semakin dekat. Perjalanan selalu menyisakan hikmah. Bukan perkara mudah mengelola sekian jam di atas kereta bersama balita. Alhamdulillah, beberapa kali melewati hal ini membuat kami lebih mudah beradaptasi. Bahkan beragam fitrah ananda dapat disemai saat pulang ke udik. Rasanya lucu menyebut udik, sementara kampung halaman suami justru ada di ibu kota.
Mudik itu berat, tapi nyatanya kami masih kuat bahkan menambah pundi semangat.
Sederetan tantangan saat mudik tetap saja tak mampu mengurungkan kami membayar hutang rindu pada tempat dimana kami dibesarkan. Berkelebat kenangan saat dulu pergi tarawih membawa oncor (obor bambu) saat lampu jalan belum terang benderang seperti kini. Saat mudik pun, pasangan tak ketinggalan menunjukkan pohon besar di kober, tempat jajan anak-anak selepas sholat ied. Bahkan bakso langganan pun masih ada di sana.
Lepas soal kenangan, tentu saja niat silaturahim yang utama. Sekian waktu di tempat jauh, tentu banyak hal yang tak bisa kami lakukan seperti saat bersua langsung dengan orangtua. Jangan bayangkan membawakan segepok berlian, sekedar menyapu halaman, memberi makan ayam, atau menemani ngobrol sambil menikmati tangan cekatan meracik lontong jualan. Ditambah celoteh sang cucu yang menjadi bumbu rindu, menambah panjang alasan kami untuk tetap mudik saat lebaran. Niat berbakti itu pasti. Meski harus diakui, kami justru masih sering menyusahkan.
Tahun ini kami memiliki cerita mudik berbeda. Sambil menanti kehadiran Wistara kedua, kami memutuskan mudik ke rumah orangtua yang jaraknya lebih dekat, bukan ke mertua di ibukota. Dan ternyata Allah memberi bonus istimewa. Kakak (Insya Allah) tak hanya bisa bertemu Kakung Uti, tapi juga Kakek Nenek dari ibu kota. Masih dengan ritual berburu tiket, bedanya kali ini atas nama mertua.
Perjalanan,
Kadang raga kita yang harus bergerak untuk menemukan hikmah. Tapi tak jarang, sejuta hikmah menghampiri ketika raga sabar menjalani titah Ilahi.
Tgk, 04 Juni 2018
Diawinasis M Sesanti
Waah, jadi mertua dan orang tua juga bisa saling bersilaturrahim ya, Mbak. :)
BalasHapusIya, mbak. Alhamdulillah bisa silaturahim.
HapusDiksinya juara.... Bisa mengalun mesra gitu dari awal sampai akhir tulisan...
BalasHapusDiksinya juara.... Bisa mengalun mesra gitu dari awal sampai akhir tulisan...
BalasHapus