Di kehamilan pertama, terasa sekali saya mudah tersentuh. Bahkan sering menangis tanpa sebab yang jelas. Ibu hamil memang sensitif. Pun di kehamilan kali ini, hanya saja tak seekstrim pertama. Saat adik baru lahir, banyak hal mirip 11-12 dengan kakak. Wajah yang mirip, rambut hitam lurus yang sama, mata coklat, seperti memulai kembali bertemu kakak pertama kali. Pengalaman-pengalaman saat membersamai kakak pun berkelebatan, menjadi amunisi melewati berbagai tantangan memasuki dunia kedua.
Ketika Allah titipkan amanah baru bagi kami, selalu saja terbersit rasa untuk membandingkan.
Dulu waktu hamil pertama sering merasakan morning sickness hingga menguras isi perut, sedangkan kehamilan kali ini tidak. Dulu si kakak masih sanggup antri dokter hingga tengah malam. Sedang yang ini sejak periksa pertama hingga melahirkan cukup dengan bidan. Dulu tak bisa merasakan IMD. Dulu kakak masih sulit membedakan siang malam, begadang bahkan hingga bulan ke enam. Maka kami harusnya lebih bersyukur ketika si adik hanya sesekali melek lama di malam hari.
Dulu masih begitu minim ilmu saat menyambut kehadiran kakak. Belajar lagi ketika adik hadir, meskipun tetap saja banyak kekurangan. Mengihtiarkan perbaikan dari apa yang dulu belum kami ketahui. Berusaha tawakal pada Dia yang memberikan amanah baru di keluarga kami.
Benar adanya, jika yang dibandingkan adalah diri sendiri, di masa lalu dan sekarang tak jadi masalah. Artinya ini sebuah ihtiar untuk menjadi lebih baik. Namun ketika mulai merembet membanding-bandingkan si kakak dan si adik, sepertinya saya perlu mengerem pikiran sendiri. Meskipun satu dua hal ada yang sama, jelas-jelas mereka berbeda.
Dua bersaudara, lahir dari rahim yang sama. Bukan berarti selamanya harus seragam tapi. Sudah pasti keduanya istimewa.
Diawinasis M Sesanti
Tgk, 10-08-2018
Komentar
Posting Komentar