Tak terhitung lagi keberuntungan yang Allah berikan sepanjang hidupku. Bahkan nama pasangan hidup pun bermakna 'seseorang yang beruntung'. Maka tak ada alasan untukku tidak bersyukur, bukan?
Keberuntunganku dimulai di hari Kamis di bulan Oktober. Saat seorang ibu menantikan saat-saat berjumpa bayi pertamanya. Proses yang cukup panjang hingga hampir kehabisan tenaga. Rupanya macet bahu jadi penyebab si jabang bayi butuh perpanjangan waktu kala itu. Konon katanya, hal semacam ini sering terjadi jika "tukang parkirnya" tak sabar dalam memberi aba-aba. Dan aku pun tertawa saat mbak berkelakar kelanjutan kisahnya.
Sejak lahir ternyata aku sudah tak banyak bicara, menangis pun tidak. Tapi gara-gara ini, ternyata orang-orang panik setengah mati. Tubuh yang baru keluar dari rahim itu dijungkir balik, ada yang membuat bunyi-bunyian, ada yang bolak-balik menengok si bayi. Bisa jadi waktu itu lebih heboh dibanding ibu-ibu bertemu diskonan akhir tahun. Padahal ini kisahku, tapi tak satupun yang kuingat saat itu.
Maafkan jika mulai hari itu aku membuat gaduh. Pantas saja bapakku turut meneteskan airmata haru, ketika aku melahirkan anak keduaku. Pasti bayangan masa itu berkelebat. Tubuh merah Wistara kedua ditambah tangisan istimewanya tentu berbeda dengan cara bundanya dulu menyapa dunia. Ibuk, bapak, maafkan anakmu yang masih sering kurang hormat. Maafkan jika tak banyak yang bisa dibanggakan sejak aku dilahirkan hingga sekarang.
Mengulang ceritaku hampir seperti menonton jalan cerita Tri Idiots, saat Rancho (yang ternyata bernama Pungsuk Wangdu) menolong kelahiran putri pertama prof Virus. Untunglah waktu itu tak ada yang mengatakan "all iz well", bisa-bisa aku diberi nama Welly lalu menyanyi lagu barat.
Dari cerita kelahiran ini, ada satu benang merah membuatku menjadi orang yang beruntung. Pada banyak kasus, bayi yang lahir dengan kondisi ini akan berpengaruh pada proses tumbuh kembangnya. Jika sampai saat ini aku masih bisa hidup normal, menjadi orang yang 'winasis' meskipun secuil, tak lain karena kehendakNya. Kupikir memang begini wujud 'sesanti' (pengharapan) kedua orangtuaku yang dipeluk sempurna oleh Penciptaku.
Jadi namaku ini bukan sekedar "biar beda", tapi ada makna luar biasa yang baru kupahami setelah sekian tahun mengisi akta lahir, buku rapor, KTP, buku nikah, hingga nama medsos. Kalaupun pernah kupakai nama lain, sudah kupastikan itu singkatan nama atau kata lain dengan arti yang sama.
Sebenarnya ada panjang daftar keberuntunganku. Salah satunya sering bertemu takdir mengisi "bangku kosong". Meskipun pernah menolak mentah-mentah, tapi ada masanya aku memutuskan keluar dari zona nyaman. Dan itu tak ada ruginya.
Waktu itu aku baru beradaptasi dengan jarak. Pulang pergi 15 km ditempuh bahagia setiap hari. Di tengah tahun kedua, empat orang siswa dari kelasku dipindah ke kelas "excellent" sekolah. Dan aku salah satu yang bernasib mengisi bangku kosong kelas itu. Kau hanya perlu melangkah, biarkan pendar-pendar berkilau di sekitarmu menerangi jalanmu.
Cerita yang sama berulang di bangku SMA. Tiga belas, konon menjadi angka keberuntungan yang mengantarku pada satu kursi kosong di kelas paling ujung. Kali ini aku hampir tak mampu bertahan karena pendarnya lebih cemerlang. Ada yang langganan juara tingkat dunia. Ada yang sudah menggelar peta mimpi jauh-jauh hari. Dan aku memilih mematikan lampu, agar bisa memandang mereka dengan lebih jelas. Hingga saat ini, aku ikut bahagia pernah menjadi bagian dari 'Sepatu' dan menyaksikan cara bahagia setiap anggotanya. Meski aku tak berpijar seterang bintang yang lain.
Bosan dengan sekolah favorit, kuputuskan masuk ke PTN biasa saja. Padahal tak yakin juga ada PTN favorit mau menerima. Hahaha. Nasib mengisi bangku kosong terjadi di semester kelima. Iseng melamar menjadi pembantu, ternyata mempertemukanku dengan deretan bintang cemerlang kembali. Beruntungnya, aku masih bernafas meski sempat dibantai habis-habisan di akhir jabatan gara-gara bangku yang seharusnya dikosongkan. Lega saat berhasil membalik keadaan dengan menyampaikan kata perpisahan di depan teman seangkatan.
Berkali-kali nyempil diantara manusia istimewa, membuatku sadar akan keberuntungan yang sering kujumpai. Aku juga istimewa, namun bukan karena aku yang terbaik di kelas. Aku bisa mengisi tempat yang tersisa bisa jadi karena berbeda, dan memang keberuntungan ini takdir dariNya.
Dan sepertinya aku mulai terbiasa disapa keberuntungan. Meskipun tak kupungkiri sering muncul kecil hati diantara hati-hati besar yang rupawan. Kini aku melenggang bahagia, bersiap dengan apapun di depan sana. Beruntung atau tidak, tetap saja aku harus bersyukur. Atau karena syukur ini, aku menjadi beruntung?
Komentar
Posting Komentar