Saat berbicara tentang fitrah bakat, tidak sah rasanya jika potensi diri berhenti setelah diketahui. Kita butuh ruang-ruang untuk memberi jalan pada tiap potensi agar mencapai kemanfaatan. Ibarat modal, selamanya tak akan bertambah atau berkurang jika tak pernah digunakan untuk usaha tertentu.
Menurut penelitian, prosentase mahasiswa salah jurusan begitu besar. Namun bisa jadi itu adalah proses belanja pengalaman yang tertunda (harusnya dilakukan di masa pre akil baligh). Artinya bukan masalah sekalipun baru setelah lulus kita menemukan ruang yang nyaman untuk memberi ruang pada bakat diri. Terlambat lebih baik daripada tidak sama sekali.
Tentu kita sudah tak asing lagi dengan tallents mapping dari temubakat.com karena menjadi salah satu PR di matrikulasi Institut Ibu Profesional. Setelah memahami kecenderungan kita, dilanjutkan memilih aktivitas yang mudah dan menyenangkan bagi diri sendiri. Bidang-bidang yang dipilih bisa jadi benar-benar baru, atau justru memang yang sudah lama digeluti.
Saya pribadi memilih corat-coret sebagai ranah enjoy-easy. Bisa dijangkau dan bisa dilakukan setelah tuntas tugas utama di ranah domestik. Selanjutnya soal belanja pengalaman menuju level excellent dan earn lah yang butuh meluangkan jam terbang.
1. Me Time
Di awal belajar, saya lebih banyak corat-coret untuk diri sendiri. Meluangkan waktu untuk sekedar katarsis lewat gambar, me time. Tentu hasil gambar lebih banyak ditentukan selera diri sendiri. Mencoba media kertas sederhana, mencoba memakai alat yang ada, tanpa tekanan, mengalir saja.
2. Doodle Gratis
Berikutnya mulai muncul keberanian untuk berbagi coretan untuk teman yang sedang berbahagia. Menemani bingkisan kecil atau buah tangan yang tentu lebih awet dibanding makanan. Dari sininlah mulai datang tantangan untuk dibuatkan coretan sejenis. Dibayar? Tidak sama sekali. Tapi cara ini efektif untuk menambah jam terbang. Tak hanya belajar sendiri, artinya dari sini belajar menemukan kesamaan selera diri dengan selera orang yang minta dibuatkan. Negosiasi, mengganti konsep berkali-kali hingga hampir lelah menemukan kecocokan selera. Yang awalnya semi planned atau bahkan unplanned doodle, hingga dipaksa harus mencicipi planned doodle. Mencoba upgrade alat dan bahan sesuai permintaan juga menjadi satu sarana belajar.
3. Temukan atau Buat Komunitas
Media sosial "mempertemukan" saya dengan banyak orang yang memiliki minat yang sama namun dengan beragam ide. Umumnya komunitas DoodleArt didominasi anak-anak muda. Minder pun terbit dari diri emak. Hingga datang kesempatan menemukan komunitas yang memiliki bulu yang sama. Kemudian hadir kesempatan membuat rumah belajar DoodleArt di IP Malang Raya, tentu tak bisa ditolak begitu saja.
Belajar lewat berbagi dengan para ibu/calon ibu soal DoodleArt, ada banyak pengalaman baru bermunculan selama setahun terakhir.
4. Nikmati Proses
Fitrah belajar menjadi salah satu kunci untuk terus bertumbuh. Kesempatan mencoba hal baru yang bahkan tak terpikir sebelumnya. Bagaimana jika doodle sebagai ilustrasi buku? Bisakah doodle menghias undangan? Bagaimana jika doodle tak sekedar berhenti di kertas, tapi diaplikasikan di media atau benda lain? Dan pertanyaan lain akan menambah kaya pengalaman seiring proses yang dilalui.
Mengapa saya pernah memilih tidak memberi tarif atas coretan yang saya buat? Karena saya masih di ranah enjoy-easy yang jauh dari excellent, belum berhak menerima earn. Hingga sadar bahwa alat dan bahan itu tidak gratis, waktu sekian menit per hari itu berharga, ide itu mahal, belanja pengalaman yang tak bisa diukur dengan materi. Setelah merasakan sendiri, saya pun bertobat dari mengharap desain gratisan. Menghargai diri sendiri dalam berproses. Komitmen dan konsisten atas perjalanan menyemai potensi menjadi kebermanfaatan.
Diawinasis M Sesanti
Mlg, 20 September 2018
Komentar
Posting Komentar