Sebuah buku cerita bersampul hijau itu sudah berulang kali kubuka. Tiap lembarnya terasa sangat istimewa karena warna-warni, tak seperti barisan buku lain yang ada di rak buku. Dari sampulnya, terlihat seorang putri dan pangeran kerajaan Jawa Timuran. Jangan lupa dengan hewan bercangkang dengan warna kekuningan yang menjadi judul cerita. "Mirip seperti bekicot", batinku saat itu. Bagaimana ceritanya manusia masuk ke cangkang sekecil itu?
Usiaku belum genap lima tahun, wajar jika belum bisa membaca. Nama Chandra Kirana dan Inu Kertapati kukenal saat bapak berulang mendongengkan kisah yang sama. Di lain waktu kulihat sebuah pena di meja. Tangan kecilku tak tahan ikut meramaikan gambar ilustrasi di buku tadi. Kuperiksa setiap ruang kosong, jangan sampai ada halaman yang terlewat!
"Bukune mboten pareng dioret-oret, Nduk!", saat ibuk memergoki hasil karyaku. Sejak saat itu aku pun tak lagi mencoreti buku, meskipun aku tahu membuat coretan itu membahagiakan.
Dua dekade terlewati. Seorang balita tampak asik membuat coretan di buku ceritanya. Di hari yang lain, dinding rumah hampir penuh dengan karyanya. Kadang pensil di genggaman, lain waktu krayon dan spidol menggantikan. Hingga aku pun tak tahan ikut ambil bagian.
Ternyata binar bahagia membuat coretan tak hanya milik si kecil. Coretan seolah menjadi candu, sulit untuk kulewatkan. Memberi sepotong jawaban atas kegalauan diri saat pertanyaan: "apa passionmu?" datang menghampiri.
Aku pun menikmati proses, hingga perlahan datang kesempatan membuat coretan untuk dicetak di buku. Bukan ilustrasi cantik berwarna, hanya doodle sederhana pelengkap tulisan. Ingin rasanya menjawab kalimat ibuk di masa lampau, "Sakniki buku pareng diorek-orek lho, Buk".
Oiya jangan lupa dengan buku dongeng penuh coretan. Keong emas ternyata berukuran besar. Jangankan Galuh Chandra Kirana, bapak ibu hingga tetangganya satu RT pun muat masuk ke dalamnya. Tak percaya? Cobalah jalan-jalan ke TMII. Siapa yang tahu imajinasiku menjadi nyata, membuat coretan di gedung keong emas suatu saat nanti.
***
Cara paling mudah menemukan passion dimulai dengan menemukan binar bahagia dari apa yang kita lakukan sehari-hari. Mulailah dari apa yang ada, tak usah mengada-ada. Apalagi menunggu semua ada.
Komentar
Posting Komentar