Kalau ada yang pernah baca LoA, the Secret, dsb.. pasti ga asing dengan "fokus apa yang kita inginkan, bukan sebaliknya". (Padahal saya juga lupa itu buku pernah baca di mana).
.
Di Bunda Sayang, ada materi komunikasi produktif.. fokus pada apa yang diharapkan, bukan sebaliknya. Bukan meniadakan kata jangan, tapi menggunakan kata "jangan" di tempat dan waktu yang tepat. Bayangkan setiap hari ketemu "jangan", lalu pas mau ngajarkan tauhid.. "jangan sekutukan Allah nak", ini ortu gue pake "jangan" level mana nih? level jangan naik tangga, jangan banyak bicara, atau jangan mainan piring?
.
Alhamdulillah, nemu contekan keren jadi ortu. Ibarat main layangan, kapan menarik, kapan mengulur. Karena kita bukan pemadam kebiadaban, kita arsitek peradaban.
Dibutuhkan alasan yang kuat, mengapa kita perlu menerapkan cerdas finansial. Butuh pemahaman yang benar terlebih dahulu agar tak gagap dalam mengaplikasikan di kehidupan sehari-hari. Sehingga kita sebagai orangtua lebih mudah membersamai ananda di rumah menjadi pribadi yang seimbang, cerdas tak hanya IQ, SQ, EQ, tetapi juga cerdas secara finansial. Bukankah anak-anak adalah peniru ulung orangtuanya? Bicara tentang finansial, erat kaitannya dengan konsep rezeki. Motivasi terbesar kita belajar tentang rezeki kembali pada fitrah keimanan kita. Allah sebagai Rabb telah menjamin rezeki (Roziqon) bagi setiap makhluk yang bernyawa di muka bumi. Saat kita mulai ragu dengan jaminan Allah atas rejeki, maka keimanan kita pun perlu dipertanyakan. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, rezeki bermakna : re·ze·ki n 1 segala sesuatu yang dipakai untuk memelihara kehidupan (yang diberikan oleh Tuhan); makanan (sehari-hari); nafkah; 2 ki penghidupan; pendapatan (uang dan sebagainya untuk
Komentar
Posting Komentar