Kalau ada yang pernah baca LoA, the Secret, dsb.. pasti ga asing dengan "fokus apa yang kita inginkan, bukan sebaliknya". (Padahal saya juga lupa itu buku pernah baca di mana).
.
Di Bunda Sayang, ada materi komunikasi produktif.. fokus pada apa yang diharapkan, bukan sebaliknya. Bukan meniadakan kata jangan, tapi menggunakan kata "jangan" di tempat dan waktu yang tepat. Bayangkan setiap hari ketemu "jangan", lalu pas mau ngajarkan tauhid.. "jangan sekutukan Allah nak", ini ortu gue pake "jangan" level mana nih? level jangan naik tangga, jangan banyak bicara, atau jangan mainan piring?
.
Alhamdulillah, nemu contekan keren jadi ortu. Ibarat main layangan, kapan menarik, kapan mengulur. Karena kita bukan pemadam kebiadaban, kita arsitek peradaban.
"Setiap kita diciptakan istimewa, unik, dan satu-satunya. Tidak ada produk gagal dari setiap ciptaan Allah SWT." Demikian kalimat yang sering didengungkan, namun bukan perkara mudah meyakininya hingga mewujudkannya dalam kehidupan nyata. Karena di luar sana banyak kalimat yang tak kalah sakti memupus harap hingga kita tak yakin lagi bahwa kita istimewa. "Mengapa kamu tak bisa juara kelas seperti mbak X?" "Mas A sudah diterima PTN favorit, kamu gimana?" "Si Y bisa beli rumah, mobil, tanah, dan investasi lain lho.. Nggak kaya kamu." Dibandingkan. Satu hal yang paling sering membekas dan menjadi inner child yang belum selesai bahkan setelah status berubah menjadi orangtua. Guratan kecil yang tanpa sadar dapat memudarkan pendar cahaya dari sisi unik setiap diri manusia. Tak ada yang salah dengan perbandingan. Bukankah mengukur itu memakai perbandingan besaran dan satuan? Hanya saja perlu memastikan, saat mengukur besaran panjang satuannya pun ...
Komentar
Posting Komentar