Langsung ke konten utama

Upacara

"Assalamualaikum, Mama.
Diinformasikan bahwasanya Kakak untuk hari senin besok mendapat tugas menjadi petugas upacara. Silahkan Kakak diantar  ke sekolah pukul 06.00 WIB untuk melakukan latihan. Memakai atribut lengkap, ya. Terimakasih."

Sebuah pesan masuk dari guru kelas kakak di hari Ahad. Sepertinya pekan-pekan sebelumnya kakak cukup tertib saat upacara, hingga dianggap mampu menjadi petugas kali ini.

Setelah lima tahun ini membersamai ananda, sudah bisa "dititeni" bahwa aktivitas baru biasanya butuh adaptasi. Rasanya baru kemarin drama sekolah di hari-hari pertama. Jangankan ditinggal, belajar saja minta ditunggui tepat di sampingnya. Alhamdulillah di bulan ketiganya sudah kakak sudah semakin mandiri tanpa butuh ditemani sepanjang proses belajar di sekolah.

Dan kali ini, sesuai dugaan. Kakak menolak menjadi petugas upacara sambil matanya berkaca-kaca.

"Kakak besok disuruh berangkat pagi, mau jadi petugas upacara lho. Mau?"

Senyum yang tadi merekah tiba-tiba hilang, mendung bergelayut di pelupuk mata.

"Aku nggak mau.. Maunya jadi peserta aja."

"Petugas yang kaya mbak Lula itu lho, jadi pemimpin yang berdiri di depan teman-teman itu."

"Aku belum berani.", kali ini mulai menetes airmatanya.

"Ya udah, bilang sendiri sama Kak Novi, ya.", setelah semua jurus bujuk rayu Bunda gagal.

Sebuah pesan suara terkirim membalas pesan dari guru kelasnya tadi. Hanya satu kalimat, "Kak Novi, aku belum berani."

Kutambah keterangan di bawahnya, mohon diberi kesempatan untuk melihat anak lain dulu. Biasanya ananda mau melakukkan aktivitas baru saat sudah melihat dan mengamati. Khas anak dengan modalitas visual.

Keesokan harinya, kakak bersemangat bercerita tentang teman-temannya dari TK-B yang menjadi petugas upacara. Ada yang mbak Hanifah yang menjadi pemimpin pasukan, mbak Lula pemimpin upacara, juga mbak Fahira yang membaca teks Pancasila.

"Terus kakak jadi apa?"

"Aku ya pasukannya. Nanti kalau sudah TK-B aku berani kaya kakak-kakak TK-B tadi."

"Nggak harus TK-B kak, masih TK-A juga boleh lho."

***



Sepekan berlalu. Hari ini, sepulang sekolah kakak dengan semangat bercerita pengalamannya.

"Tadi upacara aku jadi pemimpin pasukan, lho!", matanya tampak berbinar.

"Wah.. Jempol nih! Sudah berani. Tadi disuruh siapa?"

"Iya dong, aku berani. Disuruh Kak Novi tadi."

Selanjutnya mengalir lah cerita tentang apa saja tugas sang pemimpin pasukan dadakan pagi ini. Sepertinya mendung di pekan lalu sudah berubah menjadi pelangi. Hanya butuh sedikit waktu dan pengertian, memberi kesempatan pada ananda sesuai sisi uniknya. Mungkin lain ceritanya jika waktu itu kami memaksa kakak saat belum benar-benar siap. Terimakasih untuk hikmah kali ini, Kakak Wistara1.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

JURNAL BELAJAR LEVEL 8 : CERDAS FINANSIAL

Dibutuhkan alasan yang kuat, mengapa kita perlu menerapkan cerdas finansial. Butuh pemahaman yang benar terlebih dahulu agar tak gagap dalam mengaplikasikan di kehidupan sehari-hari. Sehingga kita sebagai orangtua lebih mudah membersamai ananda di rumah menjadi pribadi yang seimbang, cerdas tak hanya IQ, SQ, EQ, tetapi juga cerdas secara finansial. Bukankah anak-anak adalah peniru ulung orangtuanya? Bicara tentang finansial, erat kaitannya dengan konsep rezeki. Motivasi terbesar kita belajar tentang rezeki kembali pada fitrah keimanan kita. Allah sebagai Rabb telah menjamin rezeki (Roziqon) bagi setiap makhluk yang bernyawa di muka bumi. Saat kita mulai ragu dengan jaminan Allah atas rejeki, maka keimanan kita pun perlu dipertanyakan. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, rezeki bermakna : re·ze·ki  n  1 segala sesuatu yang dipakai untuk memelihara kehidupan (yang diberikan oleh Tuhan); makanan (sehari-hari); nafkah; 2  ki  penghidupan; pendapata...

Setiap Kita Istimewa

"Setiap kita diciptakan istimewa, unik, dan satu-satunya. Tidak ada produk gagal dari setiap ciptaan Allah SWT." Demikian kalimat yang sering didengungkan, namun bukan perkara mudah meyakininya hingga mewujudkannya dalam kehidupan nyata. Karena di luar sana banyak kalimat yang tak kalah sakti memupus harap hingga kita tak yakin lagi bahwa kita istimewa. "Mengapa kamu tak bisa juara kelas seperti mbak X?" "Mas A sudah diterima PTN favorit, kamu gimana?" "Si Y bisa beli rumah, mobil, tanah, dan investasi lain lho.. Nggak kaya kamu." Dibandingkan. Satu hal yang paling sering membekas dan menjadi inner child yang belum selesai bahkan setelah status berubah menjadi orangtua. Guratan kecil yang tanpa sadar dapat memudarkan pendar cahaya dari sisi unik setiap diri manusia. Tak ada yang salah dengan perbandingan. Bukankah mengukur itu memakai perbandingan besaran dan satuan? Hanya saja perlu memastikan, saat mengukur besaran panjang satuannya pun ...

Jurnal Belajar Level #1 Mantra Bahagia Keluarga: "Ngobrol Bareng"

Jurnal Belajar LevelL#1 Mengikat Rasa, Mengikat Makna Diawinasis M Sesanti Mlg, 28 November 2017 Sebelum belajar tentang komprod, sering sekali dulu membombardir pasangan dengan semua isi kepala tanpa ada filter. Tak jarang, semua itu disampaikan dari balik tembok artinya kaidah-kaidah komprod dengan orang dewasa belum diterapkan karena belum dipelajari. Maka membawa sepotong demi sepotong teori komprod ke dalam kehidupan sehari-hari memberi banyak hikmah bagi kami. Meskipun level 1 telah lama dilewati, namun tantangan selalu hadir untuk dapat menyampaikan pesan dengan lebih produktif kepada siapa saja lawan bicara kita. Belajar komunikasi produktif adalah latihan yang tak ada habisnya. * Family forum Griya Wistara * Pada level 1, tantangannya adalah "ngobrol bareng" tapi bukan sembarang bicara. Membuat kesepakatan adanya family forum dalam sebuah keluarga. Awalnya canggung memang, namun dari hal remeh temeh maupun hal penting yang dibicarakan ternyata mem...