Langsung ke konten utama

Profesor Vs Tamatan SMA

Kemarin saya belajar lagi di Sekolah Ibu. Ada dua penyampai ilmu yang punya latar belakang pendidikan yang berbeda. Tapi keduanya bisa menjadi penyampai ilmu yang "excellent", di bidang masing-masing tentunya.

Pemateri pertama, lulusan SMA. Menyampaikan ilmu tentang Al-Qur'an. Iya, beliau ustadz yang sudah 20tahun lebih mengajarkan Al-Qur'an. Mengajar di rumah anak-anaknya (HE). Fasih ketika bicara tentang bidangnya. Bagaimana memulai mengenalkan Qur'an untuk anak 2 tahun, duduk dipangku dengan membentangkan mushaf di depan anak. Ibu membaca sambil menunjuk kata per kata.

Belajar Qur'an bertahap mulai membaca, mendengarkan, menghafalkan, memahami maknanya, mengamalkan, dan mendakwahkan. Seperti sebuah rute menuju garis akhir. Iya, ini seperti menarik garis merah dari materi-materi sebelumnya.

Penyampai ilmu berikutnya, jangan ditanya lagi. Beliau Profesor yang mendapat gelar doktor di Jepang, dengan IPK sempurna sekaligus lulusan terbaik. Prof di bidang apa sih??? Bidang yang di Indonesia aja belum ada jurusannya, NUTRIGINOMIC. Jangan tanya saya apa itu, lebih baik langsung berguru kepada beliau.

Lalu apa hubungannya dengan keilmuan saya sekarang? (iya, keilmuan sebagai ibu). Jadi beliau ini concern pada masalah halal thayyib suatu makanan. Dimulai dari pentingnya masalah makanan, Nabi Adam dideportasi dari surga ke bumi karena masalah apa??? MAKANAN. Jadi, makanan ini adalah amanah penting (selain waktu dan kesehatan). Dibahas lah masalah yang dikira "remeh" seperti makan hasil nemu, ke kondangan diundang sendiri tapi bawa pasukan, sampai yang "berat" babi bukan cuma wujud dagingnya tapi ada kuas, ada minyak, ada tas branded.. dipakai bawa mukena, dibawa masuk masjid???

Yes, I'm on the track. Masih terus memperbaiki diri, sebagai individu, sebagai istri, sebagai ibu. Perjalanan masih panjang, semoga Allah selalu memberikan petunjuk.

Tak ada bedanya antara profesor dan lulusan SMA. Iya, ketika keduanya sama-sama menjadi orang-orang yang bertaqwa. Keduanya menemukan misi hidupnya, betebaran di muka bumi dengan kemanfaatannya masing-masing. #catatanbelajarkemarin

Komentar

Postingan populer dari blog ini

JURNAL BELAJAR LEVEL 8 : CERDAS FINANSIAL

Dibutuhkan alasan yang kuat, mengapa kita perlu menerapkan cerdas finansial. Butuh pemahaman yang benar terlebih dahulu agar tak gagap dalam mengaplikasikan di kehidupan sehari-hari. Sehingga kita sebagai orangtua lebih mudah membersamai ananda di rumah menjadi pribadi yang seimbang, cerdas tak hanya IQ, SQ, EQ, tetapi juga cerdas secara finansial. Bukankah anak-anak adalah peniru ulung orangtuanya? Bicara tentang finansial, erat kaitannya dengan konsep rezeki. Motivasi terbesar kita belajar tentang rezeki kembali pada fitrah keimanan kita. Allah sebagai Rabb telah menjamin rezeki (Roziqon) bagi setiap makhluk yang bernyawa di muka bumi. Saat kita mulai ragu dengan jaminan Allah atas rejeki, maka keimanan kita pun perlu dipertanyakan. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, rezeki bermakna : re·ze·ki  n  1 segala sesuatu yang dipakai untuk memelihara kehidupan (yang diberikan oleh Tuhan); makanan (sehari-hari); nafkah; 2  ki  penghidupan; pendapatan (uang dan sebagainya untuk

Pulang ke Udik: Menggelar Kenangan, Membayar Hutang Kerinduan

Sebagai warga perantau, bagi Griya Wistara acara mudik bukan lagi hal baru. Entah pulang ke rumah orangtua di luar kota dalam propinsi maupun mertua yang lebih jauh, antar kota antar propinsi. Bukan hal mudah dalam mempersiapkan mudik, sebutlah H-3 bulan kami harus berburu tiket kereta agar tak kehabisan sesuai tanggal yang direncanakan. Pernah suatu waktu kami harus pasang alarm tengah malam, karena hari sebelumnya sudah kehabisan tiket kereta yang diharapkan. Padahal baru jam 00.15 WIB, artinya 15 menit dari pembukaan pemesanan. Belum lagi persiapan deretan kebutuhan selama sekian hari di kampung halaman. Mana barang pribadi, mana milik pasangan, dan persiapan perang ananda tak ketinggalan. Jangan tanya rancangan budget lagi, saat pengeluaran mendominasi catatan keuangan. Membawa sepaket koper alat perang, melipat jarak agar semakin dekat. Perjalanan selalu menyisakan hikmah. Bukan perkara mudah mengelola sekian jam di atas kereta bersama balita. Alhamdulillah, beberapa kali mele

Jurnal Belajar Level 7 : Semua Anak Adalah Bintang

Usia 0-6 tahun : selesai dengan diri sendiri. Salah satu tantangan yang paling identik dengan tema level 7 ini, adalah saat orangtua mulai galau dan membanding-bandingkan anaknya dengan anak orang lain. Atau yang paling dekat dengan saudara kandungnya sendiri. Seolah-olah anak harus mengikuti sebuah pertandingan yang belum tentu setara dengan dirinya. " Coba lihat, mas itu sudah bisa jalan. Kamu kok belum?" "Berani nggak maju ke depan seperti mbak ini? " Setiap anak memiliki sisi unik yang menjadikannya bintang. Allah tak pernah salah dalam membuat makhluk, maka melihat sisi cahaya dari setiap anak adalah keniscayaan bagi setiap orangtua. Berusaha dalam meninggikan gunung, bukan meninggikan lembah. Mengasah sisi yang memang tajam pada diri anak butuh kepekaan bagi orangtua. Dalam buku CPWU, dapat diambil teknik E-O-WL-W untuk menemukan kelebihan setiap anak. 1. Engage Atau membersamai anak dalam proses pengasuhan dan pendidikan dengan sepenuh hati (yang