Aku hanyalah remah-remah ikan teri.
Kira-kira begitulah saya menganggap "keberadaan" saya di muka bumi. Saya sendiri under estimate pada diri sendiri? Eit.. Tunggu dulu.
***
Pagi ini si kecil (seperti biasa), ikut belanja di pak sayur yang biasa mangkal. Dan biasanya saya akan memintanya memilih bahan makanan yang akan dimasak hari ini. Bagaimanapun, si kecil selalu jadi "prioritas" bukan?
"Farza mau ikan yang kecil". Masih seperti biasa jawaban ini. Ikan kecil yang biasa ditunjuk adalah ikan pindang alias reyek. "Nggak mau yang ini?", entah kenapa pengen ngetes atau sebenarnya orang dewasa ini yang meragukan pilihan si kecil?
Si kecil kekeuh dengan "ikan kecil" kali ini. Tapi yang ditunjuk bukan ikan pindang, tapi ikan dengan ukuran lebih kecil. IKAN TERI. Menengok sejarah, anak ini sepertinya belum pernah berurusan dengan ikan teri ini. Artinya emaknya juga nggak pernah masak ikan teri. 😂 Sepertinya kali ini bunda yang lebih #deliberative, takut nggak dimakan, bingung masak apa, dan segenap ke-waspadaan lain.
Berhubung si kecil ini guru di "sekolah" versinya, jadi emak yang jadi murid mencoba menjawab tantangan. Setelah semua bersih, dibagi dua lah si teri. Masih dalam rangka: kalau ini tidak dimakan, setengah lagi bisa diakali menu berbeda. "Ini teri, nggak ada dagingnya, biasanya si kecil gahol sama lele, tongkol, minimal pindang yang kelihatan mana duri mana daging."
Dengan sedikit bumbu rahasia #tsah (goreng teri aja pake bumbu rahasia), jadilah sepiring teri goreng. Belum 30 menit, si teri sudah lenyap. "Mau teri lagi bun.. Goreng lagi".
Jeng jeng..
Selamat, si teri ternyata disukai si buah hati.
***
Rupanya saya sudah underestimate pada si teri. Maafkaannn..
Meskipun kecil, nggak berdaging tebal, nggak istimewa kaya salmon atau mujaer, tapi teri punya pesonanya sendiri. Begitu pula saya... 😂 Mungkin saya mempesona bagi pak Ariyanto Aragen seorang. #eeeeaaa
Griya Wistara
Mlg, 15-01-2018
Komentar
Posting Komentar