Langsung ke konten utama

Resume Seminar "Sinergi Orangtua Dalam Mendidik Anak"


Pasuruan, 18 Maret 2018
Narasumber: Keluarga Padepokan Margosari
Resume by: Diawinasis M Sesanti 




Acara ini dimulai dengan "sharing" dari Bunda Septi tentang pengalaman beliau saat dulu belajar parenting. Saat itu keluarga beliau tinggal di Depok sehingga dekat dengan UI, mudah mengikuti kuliah umum maupun diskusi dengan pakar parenting. Setiap mengikuti seminar, Bunda Septi dan Pak Dodik melanjutkan ngobrol bareng:
- Mencatat apa saja YANG BAIK dari materi saat itu. 
- Menyepakati mana yang akan MULAI DIPRAKTEKKAN sore ini di rumah. 
Hal ini berguna untuk menyaring banjir informasi tentang parenting yang masuk ke rumah dari berbagai sumber sementara tidak ada yang dipraktekkan.


Kesepakatan forum menjadi hal penting sebelum memulai acara. 
- Tentang "MEMULIAKAN ANAK ", bahwa forum orang dewasa memang tidak cocok untuk anak-anak sehingga orangtua yang harus memahami. Disediakan KC untuk anak agar orangtua dapat fokus belajar. 
- Men-silent gadget selama acara, tidak menerima panggilan di dalam ruangan. 
- Memulai acara dengan ONTIME. Sebagai reward untuk mereka yang hadir tepat waktu.


Kemudian Pak Dodik melanjutkan sharing kali ini, bahwa apa yang disampaikan adalah pengalaman yang benar-benar dialami oleh keluarga beliau dalam mendidik anak. Oleh karena itu hadirnya Enes, Ara, dan Elan adalah penilaian parenting yang dilakukan keluarga Pak Dodik dari "sudut pandang" anak.

#Enes

Sebagai anak pertama, ada banyak "drama" yang dialami sejak masih dalam kandungan, lahir prematur dengan tangan patah, serta ikut berproses bersama orangtua. Masih merasakan proses didikan "bapak antagonis" dan "ibu baik hati" sehingga bingung dengan value keluarga. Masih menjumpai konflik rumah tangga orangtua. Hingga akhirnya terjadi titik balik.
for things to change, we must change first

Orangtuanya banyak berubah, semakin banyak mendengarkan anak lewat "meja peradaban" hingga lahir SEMI yang merupakan project yang mengantarkannya mendapat penghargaan dari Ashoka Foundation.


#Ara

Hanya selisih 15 bulan dengan anak pertama, kehidupan Ara cenderung "lempeng". Dapat dekat dengan bapak, dengan ibu, juga dengan kakak. Konflik mulai muncul ketika merasa berbeda dengan kakaknya. Enes bisa berprestasi di usia yang tak terpaut jauh darinya, bisa membaca, menulis, matematika, dan bidang yang belum dikuasai Ara. Hingga orangtuanya mengatakan, "Kamu hebat dalam hal tersenyum" yang membuatnya kembali percaya diri dan tidak lagi mempermasalahkan perbedaan dengan Enes. Tenyata setelah paham ilmu tallents mapping, 6 bakat dominan Enes adalah 6 bakat yang "nggak banget" bagi Ara, dan sebaliknya. Oleh karena itu mereka paham potensi masing-masing. 
Tidak lagi membandingkan perbedaan tapi berkolaborasi sesuai potensi. 

Salah satu project Ara yang mengantarkannya mendapat penghargaan dari Ashoka Foundation adalah Moo's Project dimana semua anggota keluarganya terlibat dan mendukung. Bapak bertugas sosialisasi pada peternak sapi, Ibu memberi penyuluhan pada ibu PKK seputar gizi dan pengolahan susu sapi, Enes yang pernah membuat project SEMI bertugas tentang pengolahan limbah peternakan sapi, dan Elan bertugas main berbaur dengan anak-anak di daerah tersebut.



#Pak Dodik 

Pentingnya bertanya pada anak, lewat ngobrol santai menggali pendapat mereka tentang orangtuanya. Biasanya akan muncul beragam hal menarik dan penilaian yang objektif dari sudut pandang anak.

*WASPADA: Anak-anak tidak pernah lupa apa yang orangtua katakan.
Bisa jadi itu hal sepele yang kita lupakan, tapi anak-anak terus mengingatnya. Misalnya "kamu hebat dalam hal tersenyum", senyum itu juga potensi. Orangtua mungkin lupa pernah mengatakan demikian, yang ternyata menumbuhkan rasa percaya diri bagi Ara saat itu.


*FLIPCHART : Menuliskan hasil ngobrol di tempat yang mudah dilihat.
Dapat menjadi sarana ampuh meluruskan komunikasi dengan pasangan. Perbedaan latar belakang kadang membuat gaya berkomunikasi pun berbeda, sehingga menuliskan "apa yang dimaksudkan" ini menjadi penting untuk menemukan jalan keluar. Tak jarang sebenarnya maksudnya sama tapi ternyata cara menyampaikan yang tidak tepat menjadi penyebab konflik.


*FORUM NGOBROL
Di Padepokan Margosari, hal ini dilakukan setelah maghrib hingga menjelang isya. Makna bersama di meja makan, kemudian ngobrol santai tentang apa saja. No TV, no gadget, dan aturan ini disepakati oleh semua anggota keluarga.


*SIBLING RIVALRY VS SIBLING COLABORATION
Sering kita dengar sibling rivalry, dimana saudara saling bersaing dan tak mau kalah. Dari pengalaman Pak Dodik, sekali waktu sibling colaboration pun patut diwaspadai. Ketika anak-anak bekerjasama "melawan" orangtua. Mengingat lagi bahwa adil itu tidak selalu sama, melihat potensi tiap anak dan memfasilitasi apa yang masing-masing butuhkan bukan menyamakan.


#Elan

Si bungsu mengawali dengan membuka pertanyaan dari peserta forum.

? Apakah yang membuat Mbak Enes dan Mbak Ara bangga dengan Bapak
- Enes: Main bareng Bapak
-Ara: Karena dari kecil lebih dekat dengan Bapak, banyak value yang didapat dari bapak. Sosok imam idaman yang pintar, kuat, dan lucu.


Elan menceritakan perjalanan "Education" yang selama ini dilaluinya, yaitu exploring-addicted-learn to focus.
*Exploring
Masa mencoba karena orangtua yang tidak pernah memaksa tetapi memberi PILIHAN. Dalam hal makanan, hingga memilih sekolah. Pernah masuk sekolah TK kecil namun kemudian memilih untuk "tidak sekolah". Mengalami "masa imigran", peralihan dari sekolah formal ke sistem HS yang full belajar di rumah. Tak hanya anak, orangtua biasanya juga mengalami kebingungan "mau ngapain" saat melakukan HS. HS memang terlihat lebih "murah", tapi orangtua harus siap investasi waktu lebih banyak untuk anak. Godaan medsos berupa "status" orangtua yang juga menjalankan HS di luar sana kadang membuat orangtua tidak bijak, galau dan "membandingkan" perkembangan belajar yang dialami anaknya. Sampai usia 12 tahun, Elan banyak mencoba berbagai project belajar hingga memgantarnya menjadi pembicara termuda di Jepang saat itu. Namun Elan menyatakan bahwa hampir semua projectnya "gagal", dan hal ini tidak akan diungkapkan oleh para orangtua HS. Baru beberapa waktu ini Elan fokus belajar tentang programming setelah puas bereksplorasi dengan belanja banyak pengalaman.

*Addicted
Pengalaman pernah kecanduan game sejak jam 7 pagi hingga jam tidur malam memberikan pengalaman berharga untuk Elan. Game memang memiliki daya tarik yang selalu update setiap bulan. Namun orangtuanya ikut belajar apa itu game, apa yang tidak bisa diberikan oleh game. Memfasilitasi Elan menikmati kegiatan yang lebih seru daripada game.

*Learn to focus
Elan mengaku, baru setelah usia 13 tahun ini dirinya benar-benar fokus pada satu bidang. Saat ada fasilitator di luar orangtuanya yang membimbing menjaga ritme belajar, mood, waktu, dsb.



Q&A Sesi 1
Q1: Pak Bambang
-Idealnya usia berapa anak-anak fokus dengan bidangnya?
-Bagaimana peran orangtua dalam membantu anak menemukan passionnya?

A1:
-Wajar saat anak-anak berganti bidang, tanyakan ke anak dan sepakati usia berapa anak-anak fokus. Misal Enes dan Ara pada usia 20 tahun, sedangkan Elan usia 17 tahun.
-Peran orangtua lebih banyak sebagai fasilitator.

Q2: Bu Annis
-Cerita tentang putranya yang berganti-ganti bidang serta tantangan yang dialami. Memahami jika anak tidak berbakat di bidang skolastik, saat ini sedang memilih desain. Bagaimana cara mengembangkan potensi yang dimiliki anak?
-Penyebab dan mengatasi kecanduan gadget?

A2:
-Passion bukan sesuatu yang "ngoyo", cukup lakukan dengan sebaik mungkin apa tugas yang ada di depan kita. Kemudian akan muncul peran mana yang memang disukai. Bisa jadi itu lah passion. Seperti saat Enes melakoni berbagai bidang, SEMI, Eneska, di Lebah Putih, dsb bidangnya bisa jadi berbeda-beda tapi perannya sama.
-Elan waktu itu kecanduan game karena sebagai pelarian "kurang didengarkan" oleh orangtuanya. Sehingga perlu orangtua melihat lagi interaksinya dengan gadget di depan anak.

Q3: Bu Eve
-Bagaimana dengan menegur anak pertama di depan anak kedua?
-Kiat sabar dalam menemani anak belajar?
A3:
-Bicara 4 mata dengan anak pertama. Jaga kehormatan anak pertama di depan adiknya. Tegur kesalahannya, lalu lupakan. Tetapi saat anak berbuat kebaikan maka puji dan catat kebaikannya.
-Orangtua perlu memelihara jiwa anak-anak dalam diri. Ada kalanya perlu switch dari sisi orang dewasa-sisi anak-anak. Seperti saat Enes-Ara masih kecil, selesai Ibu Septi menyetrika baju kemudian menghambur-hamburkan baju yang telah rapi tersebut. Ibu Septi memilih switch ke jiwa anak-anaknya dan bergabung membuat huja  baju. Setelah selesai, bermain pura-pura menjadi semut lalu memunguti gula-gula (baju) untuk dilipat dan dirapikan kembali.
Ada masanya ON STAGE di depan anak. Membuat kandang emosi, saat harus marah, sedih, atau kecewa lakukan di belakang anak (back stage). Saat di depan anak, tunjukkan performa terbaik. Karena bahagia itu menular.

Pak Dodik menambahkan:
-Sehubungan dengan PASSION, bisa saja anak-anak berganti-ganti bidang tetapi peran yang dipilihnya biasanya konsisten. Pentingnya mengamati bahasa bakat berupa sifat.
-Orangtua berperan sebagai Fasilitator, bukan director yang mengatur arah dan tujuan anak. Sepakati masa belajar untuk bidang tertentu, tahan diri untuk tidak melakukan judgement atas pilihan anak.
-Seperti kita tampil maksimal saat di panggung menghadapi audience dengan pakaian terbaik, maka cobalah untuk rapi dan wangi saat di depan anak.
-Belajar MENDENGARKAN. Saat anak mendekat, segera letakkan gadget, dengarkan anak, terima pendapatnya, kemudian arahkan jika dibutuhkan. 100% INTENTION orangtua untuk anak. Taati GFOS, atau gadget hour.

Q&A Sesi 2.

Q4: Fenti
-Mengapa setelah TK kecil waktu itu Mas Elan memilih untuk HS?
-Mengapa orangtua memberi pilihan HS?
-Apa titik balik Mas Elan bisa berhenti kecanduan gadget?

A4:
-Karena Elan merasa tidak terlalu tertarik. Apa yg dilakukan selama satu tahun di TK kecil akan diulang kembali 1 tahun kedepan di TK besar.
-Pilihan saat itu sekolah a, b, c, atau TIDAK SEKOLAH. Berkaitan dengan value keluarga, bahwa yang wajib adalah IQRO' dan THOLABUL ILMI, bukan bersekolah. Value keluarga padepokan Margosari mengejar esensinya, bukan ijazahnya.
-Titik baliknya antara lain karena sudah merasa nyaman dengan aktivitas di "dunia nyata" sehingga bisa menyatakan "game nggak lagi asyik". Sesekali masih main game second life, tapi sudah tidak lagi gelisah/kecanduan.

Q5: Ari
-Bagaimana menyikapi pola asuh yang berbeda antara orang tua dan kakek-nenek yang tinggal serumah?
A5:
-KUATKAN ANAK DARI DALAM. Pola pikir, pola asuh yang berbeda zaman membuat adanya gap antar generasi. Pola asuh kakek-nenek di zamannya dulu tentu banyak tidak relevannya jika bersanding dengan generasi alfa (lahir tahun 2000-an ke atas). Bu Septi meminta satu area khusus dimana aturan keluarga diterapkan, selebihnya biarkan kakek nenek membuat aturan. Pahamkan anak tentang value keluarga, "paspor" di negara sendiri. Nmaun hal ini hanya akan efektif saat anak dekat dengan ayah ibunya.

Q6: Iren
-Apakah Ibu Septi pernah memiliki masalah yang berat dengan pasangan?
-Apakah Ibu Septi pernah memiliki masalah yang berat dengan anak-anak?
-Apakah Anak-anak pernah kecewa pada orangtua?
-Sejak kapan melibatkan anak dalam "meja peradaban"?

A6:
-Pasti ada masalah, tapi SELESAIKAN jangan ditulis. Cari tahu TRIGGER penyebab marah dengan ILMU TITEN. Misalnya saat tanggal tua, emosi naik. Buat GOLDEN RULE untuk menghadapi masalah:
*APAPUN KONDISI EMOSINYA TETAP BERKOMUNIKASI DENGAN PASANGAN,
*HASIL KEPUTUSAN DALAM KEADAAN EMOSI DIANGGAP BATAL,
*SAAT ADA MASALAH KEMBALIKAN PADA QUR'AN DAN HADITS.
Hingga akhirnya memahami bahwa dalam keluarga bukan lagi aku dan kamu, tapi KITA.
-Marah pada anak pernah tapi tidak pernah mencatatnya, "tegur perilakunya" selesaikan. Catat setiap kebaikan anak saja.
-Pernah kecewa dalam bentuk "Kecelek". Ara bercerita tentang jawaban orangtuanya: senter doraemon dalam membuat bonsay, ternyata itu hanya "dongeng" masa kanak-kanak yang akhirnya saat dewasa paham ada teknik dalam membuat bonsai. Tentang 5 orang hebat bernama Rudi yang diceritakan ibunya, membuat Ara berpikir semua orang hebat pasti kenal ibunya. Serta "rambut keriting" Elan yang disebabkan lama di kandungan Ibu. Berbeda dengan Enes yang pernah kecewa saat orangtuanya sibuk dengan gadget, dan terkesan menggurui saat anak bercerita.
-Meja peradaban bisa dimulai kapan saja, menemukan value dan "nguri-uri kabudayan" yang menjadi kebiasaan orangtua kita zaman dulu.

Pak Dodik menambahkan :
-Penting bagi orangtua memahami "INI VALUE KAMI" saat dihadapan dengan value kakek nenek atau orang sekitar. Paspor-pasporan hanya berlaku jika orangtua menarik sehingga attachment anak dengan orang tua bagus.
-Memahami karakter anak, memahami ranah mana yang boleh dan mana yang tidak boleh. Saat anak tidak suka sosialisasi, bisa jadi dia berbakat di bidang lain. Tapi akhlaq baik wajib dilakukan.
-Value keluarga mendukung anak untuk tumbuh dengan baik dan bahagia. PR untuk mencari tahu apa itu GRIT, berkaitan dengan passion dan perceveirence.

NOTE:
*Resume Pribadi, jika ada kesalahan dan kekurangan silahkan menambahkan di kolom komentar.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

JURNAL BELAJAR LEVEL 8 : CERDAS FINANSIAL

Dibutuhkan alasan yang kuat, mengapa kita perlu menerapkan cerdas finansial. Butuh pemahaman yang benar terlebih dahulu agar tak gagap dalam mengaplikasikan di kehidupan sehari-hari. Sehingga kita sebagai orangtua lebih mudah membersamai ananda di rumah menjadi pribadi yang seimbang, cerdas tak hanya IQ, SQ, EQ, tetapi juga cerdas secara finansial. Bukankah anak-anak adalah peniru ulung orangtuanya? Bicara tentang finansial, erat kaitannya dengan konsep rezeki. Motivasi terbesar kita belajar tentang rezeki kembali pada fitrah keimanan kita. Allah sebagai Rabb telah menjamin rezeki (Roziqon) bagi setiap makhluk yang bernyawa di muka bumi. Saat kita mulai ragu dengan jaminan Allah atas rejeki, maka keimanan kita pun perlu dipertanyakan. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, rezeki bermakna : re·ze·ki  n  1 segala sesuatu yang dipakai untuk memelihara kehidupan (yang diberikan oleh Tuhan); makanan (sehari-hari); nafkah; 2  ki  penghidupan; pendapatan (uang dan sebagainya untuk

Pulang ke Udik: Menggelar Kenangan, Membayar Hutang Kerinduan

Sebagai warga perantau, bagi Griya Wistara acara mudik bukan lagi hal baru. Entah pulang ke rumah orangtua di luar kota dalam propinsi maupun mertua yang lebih jauh, antar kota antar propinsi. Bukan hal mudah dalam mempersiapkan mudik, sebutlah H-3 bulan kami harus berburu tiket kereta agar tak kehabisan sesuai tanggal yang direncanakan. Pernah suatu waktu kami harus pasang alarm tengah malam, karena hari sebelumnya sudah kehabisan tiket kereta yang diharapkan. Padahal baru jam 00.15 WIB, artinya 15 menit dari pembukaan pemesanan. Belum lagi persiapan deretan kebutuhan selama sekian hari di kampung halaman. Mana barang pribadi, mana milik pasangan, dan persiapan perang ananda tak ketinggalan. Jangan tanya rancangan budget lagi, saat pengeluaran mendominasi catatan keuangan. Membawa sepaket koper alat perang, melipat jarak agar semakin dekat. Perjalanan selalu menyisakan hikmah. Bukan perkara mudah mengelola sekian jam di atas kereta bersama balita. Alhamdulillah, beberapa kali mele

Jurnal Belajar Level 7 : Semua Anak Adalah Bintang

Usia 0-6 tahun : selesai dengan diri sendiri. Salah satu tantangan yang paling identik dengan tema level 7 ini, adalah saat orangtua mulai galau dan membanding-bandingkan anaknya dengan anak orang lain. Atau yang paling dekat dengan saudara kandungnya sendiri. Seolah-olah anak harus mengikuti sebuah pertandingan yang belum tentu setara dengan dirinya. " Coba lihat, mas itu sudah bisa jalan. Kamu kok belum?" "Berani nggak maju ke depan seperti mbak ini? " Setiap anak memiliki sisi unik yang menjadikannya bintang. Allah tak pernah salah dalam membuat makhluk, maka melihat sisi cahaya dari setiap anak adalah keniscayaan bagi setiap orangtua. Berusaha dalam meninggikan gunung, bukan meninggikan lembah. Mengasah sisi yang memang tajam pada diri anak butuh kepekaan bagi orangtua. Dalam buku CPWU, dapat diambil teknik E-O-WL-W untuk menemukan kelebihan setiap anak. 1. Engage Atau membersamai anak dalam proses pengasuhan dan pendidikan dengan sepenuh hati (yang