Langsung ke konten utama

Per-EMPU-an, Dulu dan Sekarang

Dulu, katanya aib memiliki anak perempuan. Entah sekarang masih ada atau tidak yang menganggap demikian. Kemudian agama ini datang memberi jaminan surga bagi orangtua yang mampu mendidik anak perempuan. 
Masih menolak surga lewat amanah anak perempuan?

Waktu zaman penjajahan, konon katanya sekolah itu bukan untuk perempuan. Meskipun demikian, haqqul yakin perempuan di masa itu tak pernah berhenti belajar. Mungkin bukan sebentuk lembaran ijazah atau kepangkatan. Tapi fitrahnya lah yang membuatnya tak jauh dari ilmu. 
Kini saat semua serba mudah, apakah gairah akan ilmu masih merekah?

Dulu, perempuan itu harta warisan. Tak ubahnya seperti sepetak tanah atau segenggam emas. Kemudian agama ini datang. Mengubahnya menjadi subjek, bukan lagi objek warisan. Sebutlah, anak perempuan, saudara perempuan, ibu, nenek, dan sederet "perempuan" berhak atas harta warisan. Ilmu faraidh yang njlimet itu pun memberi keadilan pada perempuan. 
Atau Jangan-jangan keserakahan kita saja yang belum terpuaskan?

Dulu, istri itu tak ubahnya pembantu. Perannya seputar dapur, sumur, dan kasur. Meskipun kini peran itu masih penting, bukan berarti hanya perempuan yang wajib melakoni semuanya. Bukan hal tabu ketika urusan domestik, sang suami ikut turun tangan. Bekerja sama semua ambil bagian. 
Bukankah untuk melihat sifat lelaki adalah dari akhlaqnya terhadap pesangannya (perempuan)?

Beralih status, bukan berarti hilang "surga" yang melekat pada diri perempuan. Saat perempuan memiliki anak, semakin ia bertuah. Bukan tanpa alasan, lihat susah payahnya ia mendidik generasi. Zaman dulu memang berat, apalagi kini fitnah menggempur dari segala sisi. Baru masuk dunia kedua, segala topik menjadi perdebatan. Apakah menjalani peran domestik atau publik menjadi pilihan?

Ada fitrah yang harus diterima ketika lahir sebagai perempuan. Bukan kebetulan rahim itu dititipkan. Apa, bagaimana cara kerjanya, untuk apa ada di sana? Demikianlah fitrah perempuan, menjadi gerbang kehidupan selanjutnya. Menjadi sumber rejeki di awal kehidupan bayi manusia. 
Maka terimalah fitrah menjadi perempuan dengan bahagia. Karena "surga" itu penuh kebahagiaan.

Diawinasis M Sesanti
Tgk, 10 Maret 2018

#Wanita
#ChallengeMingguan
#RumbelMenulis
#IPMalangRayaJatimsel

Komentar

Postingan populer dari blog ini

JURNAL BELAJAR LEVEL 8 : CERDAS FINANSIAL

Dibutuhkan alasan yang kuat, mengapa kita perlu menerapkan cerdas finansial. Butuh pemahaman yang benar terlebih dahulu agar tak gagap dalam mengaplikasikan di kehidupan sehari-hari. Sehingga kita sebagai orangtua lebih mudah membersamai ananda di rumah menjadi pribadi yang seimbang, cerdas tak hanya IQ, SQ, EQ, tetapi juga cerdas secara finansial. Bukankah anak-anak adalah peniru ulung orangtuanya? Bicara tentang finansial, erat kaitannya dengan konsep rezeki. Motivasi terbesar kita belajar tentang rezeki kembali pada fitrah keimanan kita. Allah sebagai Rabb telah menjamin rezeki (Roziqon) bagi setiap makhluk yang bernyawa di muka bumi. Saat kita mulai ragu dengan jaminan Allah atas rejeki, maka keimanan kita pun perlu dipertanyakan. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, rezeki bermakna : re·ze·ki  n  1 segala sesuatu yang dipakai untuk memelihara kehidupan (yang diberikan oleh Tuhan); makanan (sehari-hari); nafkah; 2  ki  penghidupan; pendapatan (uang dan sebagainya untuk

Pulang ke Udik: Menggelar Kenangan, Membayar Hutang Kerinduan

Sebagai warga perantau, bagi Griya Wistara acara mudik bukan lagi hal baru. Entah pulang ke rumah orangtua di luar kota dalam propinsi maupun mertua yang lebih jauh, antar kota antar propinsi. Bukan hal mudah dalam mempersiapkan mudik, sebutlah H-3 bulan kami harus berburu tiket kereta agar tak kehabisan sesuai tanggal yang direncanakan. Pernah suatu waktu kami harus pasang alarm tengah malam, karena hari sebelumnya sudah kehabisan tiket kereta yang diharapkan. Padahal baru jam 00.15 WIB, artinya 15 menit dari pembukaan pemesanan. Belum lagi persiapan deretan kebutuhan selama sekian hari di kampung halaman. Mana barang pribadi, mana milik pasangan, dan persiapan perang ananda tak ketinggalan. Jangan tanya rancangan budget lagi, saat pengeluaran mendominasi catatan keuangan. Membawa sepaket koper alat perang, melipat jarak agar semakin dekat. Perjalanan selalu menyisakan hikmah. Bukan perkara mudah mengelola sekian jam di atas kereta bersama balita. Alhamdulillah, beberapa kali mele

Jurnal Belajar Level 7 : Semua Anak Adalah Bintang

Usia 0-6 tahun : selesai dengan diri sendiri. Salah satu tantangan yang paling identik dengan tema level 7 ini, adalah saat orangtua mulai galau dan membanding-bandingkan anaknya dengan anak orang lain. Atau yang paling dekat dengan saudara kandungnya sendiri. Seolah-olah anak harus mengikuti sebuah pertandingan yang belum tentu setara dengan dirinya. " Coba lihat, mas itu sudah bisa jalan. Kamu kok belum?" "Berani nggak maju ke depan seperti mbak ini? " Setiap anak memiliki sisi unik yang menjadikannya bintang. Allah tak pernah salah dalam membuat makhluk, maka melihat sisi cahaya dari setiap anak adalah keniscayaan bagi setiap orangtua. Berusaha dalam meninggikan gunung, bukan meninggikan lembah. Mengasah sisi yang memang tajam pada diri anak butuh kepekaan bagi orangtua. Dalam buku CPWU, dapat diambil teknik E-O-WL-W untuk menemukan kelebihan setiap anak. 1. Engage Atau membersamai anak dalam proses pengasuhan dan pendidikan dengan sepenuh hati (yang