Langsung ke konten utama

Angkutan Umum


Kuhentikan mobil hijau dengan pelat kuning yang melintas. Seorang lelaki membukakan pintu. Aku masuk dan mengedarkan pandangan, berharap masih ada kursi kosong tersisa. Beruntung, ada satu tempat meski harus berdesakan dengan penumpang yang sudah naik sebelumnya.

Rombongan anak dengan seragam biru putih turun. Tak lama, remaja berseragam abu-abu putih menempati tempat kosong tadi. Aku memilih berpindah ke sebelahnya. Menghela napas lebih panjang terbebas dari penjara tempat duduk sebelumnya. Lebih tepatnya kurang nyaman karena duduk berdekatan dengan kakak tingkat. Belum lagi supporter "cie-cie" di sebelahnya.

Beberapa meter dilewati, seorang bapak-bapak yang sudah berumur naik. Sebuah tas anyaman dipangkunya dengan hati-hati. Samar terdengar suara ayam, meskipun bukan kokok melengking seperti bunyi yang kudengar subuh tadi. Aku masih merapal doa, semoga tak ada kotoran yang keluar selama beliau duduk tepat di sebelahku.

Belum sempat aku bernapas lega saat bapak tadi turun di pasar Wage. Berganti seorang nenek langsung menggantikan  duduk di sebelahku. Ditambah sebuah karung yang ditaruh di bawah kakinya. Yang artinya di bawah kakiku juga.
Seperti perempuan pada umumnya, tampak kecerdasan lingiuistik sang nenek lewat berondongan pertanyaan pada pak supir dan pada kenek. Aku pun akhirnya mendapat jatah pertanyaan basa-basi. Aku yakin, beliau pasti seorang penjual yang berpengalaman mengingat seringnya kami naik satu angkot yang sama.

Sepotong kenangan melewati hari-hari di jalanan, membuatku menemui wajah-wajah baru. Tetapi tak jarang berulang kali bertemu orang yang sama.  Ada yang naik lebih dulu namun turun paling akhir. Tak jarang yang baru naik, belum lima menit sudah turun. Kadang bertemu teman bicara yang menyenangkan, meski sering kali mengelus dada bertemu penumpang tak tahu aturan.

Naik angkutan umum sama halnya dengan hidup, setiap orang memiliki tujuannya sendiri. Apakah kita turun di tempat yang sama?

#30HariMemetikHikmah #TantanganMenulisIPMalang #RumbelMenulisIPMalang
#IbuProfesionalMalang
#HariKe8

Komentar

Postingan populer dari blog ini

JURNAL BELAJAR LEVEL 8 : CERDAS FINANSIAL

Dibutuhkan alasan yang kuat, mengapa kita perlu menerapkan cerdas finansial. Butuh pemahaman yang benar terlebih dahulu agar tak gagap dalam mengaplikasikan di kehidupan sehari-hari. Sehingga kita sebagai orangtua lebih mudah membersamai ananda di rumah menjadi pribadi yang seimbang, cerdas tak hanya IQ, SQ, EQ, tetapi juga cerdas secara finansial. Bukankah anak-anak adalah peniru ulung orangtuanya? Bicara tentang finansial, erat kaitannya dengan konsep rezeki. Motivasi terbesar kita belajar tentang rezeki kembali pada fitrah keimanan kita. Allah sebagai Rabb telah menjamin rezeki (Roziqon) bagi setiap makhluk yang bernyawa di muka bumi. Saat kita mulai ragu dengan jaminan Allah atas rejeki, maka keimanan kita pun perlu dipertanyakan. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, rezeki bermakna : re·ze·ki  n  1 segala sesuatu yang dipakai untuk memelihara kehidupan (yang diberikan oleh Tuhan); makanan (sehari-hari); nafkah; 2  ki  penghidupan; pendapatan (uang dan sebagainya untuk

Pulang ke Udik: Menggelar Kenangan, Membayar Hutang Kerinduan

Sebagai warga perantau, bagi Griya Wistara acara mudik bukan lagi hal baru. Entah pulang ke rumah orangtua di luar kota dalam propinsi maupun mertua yang lebih jauh, antar kota antar propinsi. Bukan hal mudah dalam mempersiapkan mudik, sebutlah H-3 bulan kami harus berburu tiket kereta agar tak kehabisan sesuai tanggal yang direncanakan. Pernah suatu waktu kami harus pasang alarm tengah malam, karena hari sebelumnya sudah kehabisan tiket kereta yang diharapkan. Padahal baru jam 00.15 WIB, artinya 15 menit dari pembukaan pemesanan. Belum lagi persiapan deretan kebutuhan selama sekian hari di kampung halaman. Mana barang pribadi, mana milik pasangan, dan persiapan perang ananda tak ketinggalan. Jangan tanya rancangan budget lagi, saat pengeluaran mendominasi catatan keuangan. Membawa sepaket koper alat perang, melipat jarak agar semakin dekat. Perjalanan selalu menyisakan hikmah. Bukan perkara mudah mengelola sekian jam di atas kereta bersama balita. Alhamdulillah, beberapa kali mele

Jurnal Belajar Level 7 : Semua Anak Adalah Bintang

Usia 0-6 tahun : selesai dengan diri sendiri. Salah satu tantangan yang paling identik dengan tema level 7 ini, adalah saat orangtua mulai galau dan membanding-bandingkan anaknya dengan anak orang lain. Atau yang paling dekat dengan saudara kandungnya sendiri. Seolah-olah anak harus mengikuti sebuah pertandingan yang belum tentu setara dengan dirinya. " Coba lihat, mas itu sudah bisa jalan. Kamu kok belum?" "Berani nggak maju ke depan seperti mbak ini? " Setiap anak memiliki sisi unik yang menjadikannya bintang. Allah tak pernah salah dalam membuat makhluk, maka melihat sisi cahaya dari setiap anak adalah keniscayaan bagi setiap orangtua. Berusaha dalam meninggikan gunung, bukan meninggikan lembah. Mengasah sisi yang memang tajam pada diri anak butuh kepekaan bagi orangtua. Dalam buku CPWU, dapat diambil teknik E-O-WL-W untuk menemukan kelebihan setiap anak. 1. Engage Atau membersamai anak dalam proses pengasuhan dan pendidikan dengan sepenuh hati (yang