Gadis kecil lima tahun itu mendekatiku. Dari matanya, tampak ingin tahu apa yang sedang dibicarakan orang-orang dewasa di sekelilingnya. Sedari tadi aku sibuk menerima telepon, kemudian menghubungi nomor lain. Hingga jelas kabar diantara tiga tempat yang berbeda.
Benar ini dataran tinggi, tapi apa sedemikian cepat kadar oksigen di udara menyusut? Seperti ada yang berat, tiba-tiba membuatku kesulitan bernafas. Tapi aku tak mau menangis, masih ada gadis kecil tadi di sisiku.
"Kakek kenapa, Bun?", akhirnya dia pun buka suara setelah sedari tadi mengekor langkahku.
"Kakek dipanggil sama Allah...", kupeluk badan kecilnya, mengusap punggung berharap bisa menenangkan diriku sendiri.
"Kalau gitu nggak bisa ketemu kakek lagi..", kali ini disertai isakan kecil. Aku sedang memilih kata-kata, seperti gadis yang pertama bertemu kekasih.. Tak ada satupun yang benar-benar pas saat melihat semua koleksi baju di lemari.
"Nggak papa.. Sudah waktunya kakek dipanggil. Kita doakan ya, doa anak sholihah itu didengar sama Allah.. Didoakan biar kakek diterima, dikaish tempat yang bagus, diterima semua amal baiknya.. Kalau amalnya baik, nanti kakek bisa masuk surga.. Nanti kita sama-sama lagi ketemu di surga", kalimat tentang surga selalu membuat si kecil berbinar. Ada anggukan kecil yang kutangkap darinya.
"Kakak mau ke surga?"
"Iya.."
"Jadi nanti sama-sama semuanya ngumpul, kakak adek, ayah, bunda, ketemu kakek..", masih tersisa isakan. Si sulung ini tak mau sedikitpun lepas dari pelukanku. Kata-kata yang keluar dari lisanku seolah menjadi penghiburan untukku sendiri.
Malam semakin larut, kupeluk tubuhnya di pembaringan. Berharap mata lentiknya segera terpejam. Tapi gerak tubuhnya tetap menunjukkan bahwa ia belum tertidur sama sekali. Masih kutangkap gelisah dari kabar yang datang tadi.
Pertama kalinya ia kehilangan orang yang cukup dekat dengannya. Sebenarnya tak bisa dibilang dekat, jika dilihat jarak Jakarta-Malang. Lebaran tahun lalu terakhir ia bertemu sang kakek. Digendong tak mau, disapa malu-malu, tapi begitu bersemangat saat membuat mobil-mobilan dari stereofoam bersama.
Hampir seharian dihabiskan untuk mengambil hati sang cucu agar mau main bersama. Membeli bahan, mencari sandal bekas, membuat pola, memotong, merekatkan, mengecatnya. Rasanya lebih mudah membeli mobil-mobilan baru di toko. Tapi kau tahu, tak selalu barang mahal yang berarti cinta untuk anak-anak. Proses panjang bersama itu lah yang akan selalu lekat dalam ingatan meski jauh secara raga.
Sebelumnya, pernah juga petasan banting menjadi alat menarik hati sang cucu agar mau berkeliling bersama beliau. Aku paham, kakek sangat sayang pada setiap cucunya, terlebih yang perempuan. Karena keempat anaknya laki-laki, kehadiran anak perempuan begitu membuat beliau berbinar.
Hingga tiba waktu kemarin. Berharap bisa melihat cucu kesayangannya meski dari jauh. Sedari pagi sang kakek berusaha menghubungi. Sore lepas berbuka puasa, akhirnya kami pun bertemu muka lewat panggilan video. Beliau berujar tentang rasa khawatirnya, tentang kesehatan kami anak cucunya. Sebuah lambaian sebelum sambungan terputus, "Sudah ya.. Kakek mau tarawih dulu". Aku yang menyentuh tanda telepon merah di layar. Siapa yang tahu, itu kalimat terakhir beliau pada cucunya. Padaku juga, menantunya.
Hingga tiba waktu perpisahan. Si gadis kecil tak ayal ikut kehilangan.
#30HariMemetikHikmah #TantanganMenulisIPMalang #RumbelMenulisIPMalang
#IbuProfesionalMalang
#HariKe11
#IbuProfesionalMalang
#HariKe11
Komentar
Posting Komentar