Langsung ke konten utama

Merdeka Belajar, Belajar Merdeka

Kata-katanya dibalik doang, tapi udah bikin mikir _jeru_.

Sebagai seorang yang menghabiskan waktu 17 tahun di bangku sekolah formal, rasanya aneh saat tahu ada anak yang tidak sekolah. Langsung muncul konflik di kepala. "Kenapa tidak sekolah? Belajarnya gimana dong? Nggak takut nggak bisa masuk PTN favorit? Nggak punya temen pasti?" Dan paket praduga lain yang umum dimiliki oleh khalayak produk persekolahan.

Hari berganti, bumi terus berputar. Akhirnya saya 'putus sekolah' alias tidak lagi makan bangku sekolah. Dan saatnya masuk ke dunia nyata dimana ujiannya tak lagi berupa memilih a-b-c atau esai. Mulai lah saya 'kenalan' dengan belajar di luar sekolah. "Eh, kok seru ya?" Nggak harus pake seragam, ujiannya sewaktu-waktu, temennya dari berbagai usia, dan apa yang dipelajari sesuai kebutuhan.

Dimulailah prasangka berikutnya. "Sekolah itu nggak banget, enakan belajar di luar sekolah." Sambil memandang sebelah mata, mungkin saya kelilipan waktu itu.

Masa pra-sekolah, anak pertama saya tidak masuk sekolah formal. Kalau ditanya, pasti jawabannya "Sekolah di rumah" alias memaksimalkan home education. Hingga tiba saatnya usia 5 tahun, Wistara #1 sudah bisa memilih. Saatnya memberi pilihan: sekolah A, sekolah B, sekolah C, atau tidak sekolah. Dan ternyata pilihannyap adalah sekolah A. Sebagai catatan untuk pengingat pribadi: home education (HE) tetap berlanjut sampai anak akil baligh.

"Lho kok sekolah... Jadi sudah tidak anti sekolahan lagi?"

Hahaha.. Baiklah, saatnya memperbarui 'keyakinan' saya soal sekolahan. Saatnya meluruskan, bahwa tak masalah belajar di mana saja. Yang menjadi masalah adalah ketika tidak belajar, karena yang wajib adalah iqro' dan tholabul ilmi.

Nah, dari sini saya jadi tergelitik lagi. Sekolah yang seperti apa idealnya yang terbaik? Belajar lagi,  cari tahu lagi.

Banyak referensi, mulai dari buku, artikel, kulwap, dsb silahkan cari sendiri. Tidak hanya satu faktor penentu, mulai dari biaya, jarak, kurikulum, fasilitas dan yang paling penting menurut saya value sekolah. Apakah sejalan dengan keluarga kita atau tidak? Karena biasanya burung yang berbulu sama kan berkumpul, istilah kerennya 'ruh itu nggak akan salah gaul'.
Nah, karena value berbeda tiap orang. Maka wajar jika sekolah A terbaik untukku, sekolah B untukmu, HS untuk dia, unschooling bagi mereka.

"Jadi sekarang termasuk pro atau kontra dengan sekolah?"

Selama sekolah itu sesuai dengan value yang kita pegang, tidak masalah. Masih ada kok sekolah yang punya idealisme. Kembali lagi, tanggungjawab utama mendidik anak tetap orangtuanya (#selfplak untuk diri sendiri). Btw, saya juga bangga dengan para orangtua yang berani mengambil keputusan untuk tidak memilih sekolah formal tetapi anak-anaknya bisa merdeka belajar.

Rasanya saya mendadak sok-bijak, padahal aselinya mupeng juga melihat komitmen dan konsistensi para orangtua di luaran yang berhasil membersamai anak-anaknya menjadi pribadi akil baligh baik dengan jalur formal maupun non formal. Moga Allah juga memberi kekuatan bagi kita menjalankan tugas ini.

Btw, apa tugas menuntut ilmu hanya milik anak-anak usia sekolah? Bukankah meskipun sudah menjadi orangtua, kita juga masih termasuk dalam rentang waktu buaian-hingga-liang lahat? (#selfplak lagi)

Dimase Notes
Malang, 5 Maret 2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

JURNAL BELAJAR LEVEL 8 : CERDAS FINANSIAL

Dibutuhkan alasan yang kuat, mengapa kita perlu menerapkan cerdas finansial. Butuh pemahaman yang benar terlebih dahulu agar tak gagap dalam mengaplikasikan di kehidupan sehari-hari. Sehingga kita sebagai orangtua lebih mudah membersamai ananda di rumah menjadi pribadi yang seimbang, cerdas tak hanya IQ, SQ, EQ, tetapi juga cerdas secara finansial. Bukankah anak-anak adalah peniru ulung orangtuanya? Bicara tentang finansial, erat kaitannya dengan konsep rezeki. Motivasi terbesar kita belajar tentang rezeki kembali pada fitrah keimanan kita. Allah sebagai Rabb telah menjamin rezeki (Roziqon) bagi setiap makhluk yang bernyawa di muka bumi. Saat kita mulai ragu dengan jaminan Allah atas rejeki, maka keimanan kita pun perlu dipertanyakan. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, rezeki bermakna : re·ze·ki  n  1 segala sesuatu yang dipakai untuk memelihara kehidupan (yang diberikan oleh Tuhan); makanan (sehari-hari); nafkah; 2  ki  penghidupan; pendapatan (uang dan sebagainya untuk

Pulang ke Udik: Menggelar Kenangan, Membayar Hutang Kerinduan

Sebagai warga perantau, bagi Griya Wistara acara mudik bukan lagi hal baru. Entah pulang ke rumah orangtua di luar kota dalam propinsi maupun mertua yang lebih jauh, antar kota antar propinsi. Bukan hal mudah dalam mempersiapkan mudik, sebutlah H-3 bulan kami harus berburu tiket kereta agar tak kehabisan sesuai tanggal yang direncanakan. Pernah suatu waktu kami harus pasang alarm tengah malam, karena hari sebelumnya sudah kehabisan tiket kereta yang diharapkan. Padahal baru jam 00.15 WIB, artinya 15 menit dari pembukaan pemesanan. Belum lagi persiapan deretan kebutuhan selama sekian hari di kampung halaman. Mana barang pribadi, mana milik pasangan, dan persiapan perang ananda tak ketinggalan. Jangan tanya rancangan budget lagi, saat pengeluaran mendominasi catatan keuangan. Membawa sepaket koper alat perang, melipat jarak agar semakin dekat. Perjalanan selalu menyisakan hikmah. Bukan perkara mudah mengelola sekian jam di atas kereta bersama balita. Alhamdulillah, beberapa kali mele

Jurnal Belajar Level 7 : Semua Anak Adalah Bintang

Usia 0-6 tahun : selesai dengan diri sendiri. Salah satu tantangan yang paling identik dengan tema level 7 ini, adalah saat orangtua mulai galau dan membanding-bandingkan anaknya dengan anak orang lain. Atau yang paling dekat dengan saudara kandungnya sendiri. Seolah-olah anak harus mengikuti sebuah pertandingan yang belum tentu setara dengan dirinya. " Coba lihat, mas itu sudah bisa jalan. Kamu kok belum?" "Berani nggak maju ke depan seperti mbak ini? " Setiap anak memiliki sisi unik yang menjadikannya bintang. Allah tak pernah salah dalam membuat makhluk, maka melihat sisi cahaya dari setiap anak adalah keniscayaan bagi setiap orangtua. Berusaha dalam meninggikan gunung, bukan meninggikan lembah. Mengasah sisi yang memang tajam pada diri anak butuh kepekaan bagi orangtua. Dalam buku CPWU, dapat diambil teknik E-O-WL-W untuk menemukan kelebihan setiap anak. 1. Engage Atau membersamai anak dalam proses pengasuhan dan pendidikan dengan sepenuh hati (yang