Kata-katanya dibalik doang, tapi udah bikin mikir _jeru_.
Hari berganti, bumi terus berputar. Akhirnya saya 'putus sekolah' alias tidak lagi makan bangku sekolah. Dan saatnya masuk ke dunia nyata dimana ujiannya tak lagi berupa memilih a-b-c atau esai. Mulai lah saya 'kenalan' dengan belajar di luar sekolah. "Eh, kok seru ya?" Nggak harus pake seragam, ujiannya sewaktu-waktu, temennya dari berbagai usia, dan apa yang dipelajari sesuai kebutuhan.
Masa pra-sekolah, anak pertama saya tidak masuk sekolah formal. Kalau ditanya, pasti jawabannya "Sekolah di rumah" alias memaksimalkan home education. Hingga tiba saatnya usia 5 tahun, Wistara #1 sudah bisa memilih. Saatnya memberi pilihan: sekolah A, sekolah B, sekolah C, atau tidak sekolah. Dan ternyata pilihannyap adalah sekolah A. Sebagai catatan untuk pengingat pribadi: home education (HE) tetap berlanjut sampai anak akil baligh.
"Lho kok sekolah... Jadi sudah tidak anti sekolahan lagi?"
Hahaha.. Baiklah, saatnya memperbarui 'keyakinan' saya soal sekolahan. Saatnya meluruskan, bahwa tak masalah belajar di mana saja. Yang menjadi masalah adalah ketika tidak belajar, karena yang wajib adalah iqro' dan tholabul ilmi.
Nah, dari sini saya jadi tergelitik lagi. Sekolah yang seperti apa idealnya yang terbaik? Belajar lagi, cari tahu lagi.
"Jadi sekarang termasuk pro atau kontra dengan sekolah?"
Selama sekolah itu sesuai dengan value yang kita pegang, tidak masalah. Masih ada kok sekolah yang punya idealisme. Kembali lagi, tanggungjawab utama mendidik anak tetap orangtuanya (#selfplak untuk diri sendiri). Btw, saya juga bangga dengan para orangtua yang berani mengambil keputusan untuk tidak memilih sekolah formal tetapi anak-anaknya bisa merdeka belajar.
Rasanya saya mendadak sok-bijak, padahal aselinya mupeng juga melihat komitmen dan konsistensi para orangtua di luaran yang berhasil membersamai anak-anaknya menjadi pribadi akil baligh baik dengan jalur formal maupun non formal. Moga Allah juga memberi kekuatan bagi kita menjalankan tugas ini.
Btw, apa tugas menuntut ilmu hanya milik anak-anak usia sekolah? Bukankah meskipun sudah menjadi orangtua, kita juga masih termasuk dalam rentang waktu buaian-hingga-liang lahat? (#selfplak lagi)
Dimase Notes
Malang, 5 Maret 2020
Sebagai seorang yang menghabiskan waktu 17 tahun di bangku sekolah formal, rasanya aneh saat tahu ada anak yang tidak sekolah. Langsung muncul konflik di kepala. "Kenapa tidak sekolah? Belajarnya gimana dong? Nggak takut nggak bisa masuk PTN favorit? Nggak punya temen pasti?" Dan paket praduga lain yang umum dimiliki oleh khalayak produk persekolahan.
Hari berganti, bumi terus berputar. Akhirnya saya 'putus sekolah' alias tidak lagi makan bangku sekolah. Dan saatnya masuk ke dunia nyata dimana ujiannya tak lagi berupa memilih a-b-c atau esai. Mulai lah saya 'kenalan' dengan belajar di luar sekolah. "Eh, kok seru ya?" Nggak harus pake seragam, ujiannya sewaktu-waktu, temennya dari berbagai usia, dan apa yang dipelajari sesuai kebutuhan.
Dimulailah prasangka berikutnya. "Sekolah itu nggak banget, enakan belajar di luar sekolah." Sambil memandang sebelah mata, mungkin saya kelilipan waktu itu.
Masa pra-sekolah, anak pertama saya tidak masuk sekolah formal. Kalau ditanya, pasti jawabannya "Sekolah di rumah" alias memaksimalkan home education. Hingga tiba saatnya usia 5 tahun, Wistara #1 sudah bisa memilih. Saatnya memberi pilihan: sekolah A, sekolah B, sekolah C, atau tidak sekolah. Dan ternyata pilihannyap adalah sekolah A. Sebagai catatan untuk pengingat pribadi: home education (HE) tetap berlanjut sampai anak akil baligh.
"Lho kok sekolah... Jadi sudah tidak anti sekolahan lagi?"
Hahaha.. Baiklah, saatnya memperbarui 'keyakinan' saya soal sekolahan. Saatnya meluruskan, bahwa tak masalah belajar di mana saja. Yang menjadi masalah adalah ketika tidak belajar, karena yang wajib adalah iqro' dan tholabul ilmi.
Nah, dari sini saya jadi tergelitik lagi. Sekolah yang seperti apa idealnya yang terbaik? Belajar lagi, cari tahu lagi.
Banyak referensi, mulai dari buku, artikel, kulwap, dsb silahkan cari sendiri. Tidak hanya satu faktor penentu, mulai dari biaya, jarak, kurikulum, fasilitas dan yang paling penting menurut saya value sekolah. Apakah sejalan dengan keluarga kita atau tidak? Karena biasanya burung yang berbulu sama kan berkumpul, istilah kerennya 'ruh itu nggak akan salah gaul'.
Nah, karena value berbeda tiap orang. Maka wajar jika sekolah A terbaik untukku, sekolah B untukmu, HS untuk dia, unschooling bagi mereka.
"Jadi sekarang termasuk pro atau kontra dengan sekolah?"
Selama sekolah itu sesuai dengan value yang kita pegang, tidak masalah. Masih ada kok sekolah yang punya idealisme. Kembali lagi, tanggungjawab utama mendidik anak tetap orangtuanya (#selfplak untuk diri sendiri). Btw, saya juga bangga dengan para orangtua yang berani mengambil keputusan untuk tidak memilih sekolah formal tetapi anak-anaknya bisa merdeka belajar.
Rasanya saya mendadak sok-bijak, padahal aselinya mupeng juga melihat komitmen dan konsistensi para orangtua di luaran yang berhasil membersamai anak-anaknya menjadi pribadi akil baligh baik dengan jalur formal maupun non formal. Moga Allah juga memberi kekuatan bagi kita menjalankan tugas ini.
Btw, apa tugas menuntut ilmu hanya milik anak-anak usia sekolah? Bukankah meskipun sudah menjadi orangtua, kita juga masih termasuk dalam rentang waktu buaian-hingga-liang lahat? (#selfplak lagi)
Dimase Notes
Malang, 5 Maret 2020
Komentar
Posting Komentar