Langsung ke konten utama

Cerita Griya Wistara November (2)

Tarik nafas panjang sebelum nulis ini.
"Tugas orangtua adalah bersyukur atas setiap potensi, dan bersabar atas proses".

Jadi kemarin Farza suka main air sebelum mandi. Ada kalanya main ini lamaa. Jadilah saya sambil bersihkan kamar mandi. Tapi.. rupanya ada pengalaman yang memberi kesan buruk baginya. Entah yang mana, apakah suara saya menyikat lantai, ataukah air dari bak yang saya tuang, atau yang lain selama proses saya bersih-bersih itu.

Efeknya lebih parah dari yang saya kira. Farza takut ke kamar mandi. Otomatis berefek pada aktivitas mandi dan... TOILET TRAINING.

Sempat muncul lagi pipis di celana, saking lamanya nahan BAB dan BAK. Padahal itu sudah tuntas sejak sebelum usia 2 tahunnya. Saya ga tawari ke kamar mandi? Tentu saya tawari di jam biasanya BAK. Tapi saya DITOLAK. Jadi ini rasanya ditolak.. (saran saya buat para ABG baper yang cintanya ditolak, nikah aja wes).

Mandi pagi sore jadi dipenuhi teriakan dan tangisan, sambil memeluk bunda erat-erat bahkan awalnya seperti cakaran karena saking ga mau lepas. Lebih sakit lagi di hati bunda, nak.

Coba introspeksi. Iya, saya yang salah. Managemen saya sebagai emak butuh diupgrade. Multitasking yang seharusnya TIDAK saya lakukan. Memilah ABC dari peristiwa ini. Mengajak diskusi suami, juga saran "desensitisasi sistematis" dari teman kuliah di Psikologi dulu. Mencoba mencari pandangan yang lebih objektif.

Lalu saya kembalikan pada Pemilik amanah ini. Saya yakin saya bisa, "Challenge" bertanggungjawab atas "kesalahan" saya sendiri.

Tetap lakukan aktivitas yang berhubungan dengan kamar mandi. Mencoba memberi nama "perasaan" Farza: "Farza takut? Takut apa? Ada bunda temani.. Farza berani". Sounding "berani", lakukan dengan hati. Sabar.. sabar.. dan sabar atas proses. Perlahan ada perubahan, tangisan itu mulai berkurang. Pegangan masih, tapi bukan lagi cakaran. Kata "takut" kini berubah "berani". Sudah mau bilang lagi saat mau ke kamar mandi (BAB atau BAK).

Kasus sudah selesai? Belum. Farza masih perlu digendong saat akan ke kamar mandi, padahal sebelumnya jalan sendiri pun bisa.

Saya tahu ada luka, tapi luka ini harus sembuh bukan disembunyikan apalagi bersisa. Terimakasih banyak nak, bunda banyaaakk sekali belajar darimu.

Eh, tapi ada hikmah di balik peristiwa ini. Ada sounding satunya yang mulai nampak hasilnya. Malam tadi ga ada yang minta ASI.

Alhamdulillah.. #bersambung

Komentar

Postingan populer dari blog ini

JURNAL BELAJAR LEVEL 8 : CERDAS FINANSIAL

Dibutuhkan alasan yang kuat, mengapa kita perlu menerapkan cerdas finansial. Butuh pemahaman yang benar terlebih dahulu agar tak gagap dalam mengaplikasikan di kehidupan sehari-hari. Sehingga kita sebagai orangtua lebih mudah membersamai ananda di rumah menjadi pribadi yang seimbang, cerdas tak hanya IQ, SQ, EQ, tetapi juga cerdas secara finansial. Bukankah anak-anak adalah peniru ulung orangtuanya? Bicara tentang finansial, erat kaitannya dengan konsep rezeki. Motivasi terbesar kita belajar tentang rezeki kembali pada fitrah keimanan kita. Allah sebagai Rabb telah menjamin rezeki (Roziqon) bagi setiap makhluk yang bernyawa di muka bumi. Saat kita mulai ragu dengan jaminan Allah atas rejeki, maka keimanan kita pun perlu dipertanyakan. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, rezeki bermakna : re·ze·ki  n  1 segala sesuatu yang dipakai untuk memelihara kehidupan (yang diberikan oleh Tuhan); makanan (sehari-hari); nafkah; 2  ki  penghidupan; pendapata...

Setiap Kita Istimewa

"Setiap kita diciptakan istimewa, unik, dan satu-satunya. Tidak ada produk gagal dari setiap ciptaan Allah SWT." Demikian kalimat yang sering didengungkan, namun bukan perkara mudah meyakininya hingga mewujudkannya dalam kehidupan nyata. Karena di luar sana banyak kalimat yang tak kalah sakti memupus harap hingga kita tak yakin lagi bahwa kita istimewa. "Mengapa kamu tak bisa juara kelas seperti mbak X?" "Mas A sudah diterima PTN favorit, kamu gimana?" "Si Y bisa beli rumah, mobil, tanah, dan investasi lain lho.. Nggak kaya kamu." Dibandingkan. Satu hal yang paling sering membekas dan menjadi inner child yang belum selesai bahkan setelah status berubah menjadi orangtua. Guratan kecil yang tanpa sadar dapat memudarkan pendar cahaya dari sisi unik setiap diri manusia. Tak ada yang salah dengan perbandingan. Bukankah mengukur itu memakai perbandingan besaran dan satuan? Hanya saja perlu memastikan, saat mengukur besaran panjang satuannya pun ...

Jurnal Belajar Level #1 Mantra Bahagia Keluarga: "Ngobrol Bareng"

Jurnal Belajar LevelL#1 Mengikat Rasa, Mengikat Makna Diawinasis M Sesanti Mlg, 28 November 2017 Sebelum belajar tentang komprod, sering sekali dulu membombardir pasangan dengan semua isi kepala tanpa ada filter. Tak jarang, semua itu disampaikan dari balik tembok artinya kaidah-kaidah komprod dengan orang dewasa belum diterapkan karena belum dipelajari. Maka membawa sepotong demi sepotong teori komprod ke dalam kehidupan sehari-hari memberi banyak hikmah bagi kami. Meskipun level 1 telah lama dilewati, namun tantangan selalu hadir untuk dapat menyampaikan pesan dengan lebih produktif kepada siapa saja lawan bicara kita. Belajar komunikasi produktif adalah latihan yang tak ada habisnya. * Family forum Griya Wistara * Pada level 1, tantangannya adalah "ngobrol bareng" tapi bukan sembarang bicara. Membuat kesepakatan adanya family forum dalam sebuah keluarga. Awalnya canggung memang, namun dari hal remeh temeh maupun hal penting yang dibicarakan ternyata mem...