Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Agustus, 2018

Part 2 : Berbakat

Dza, Lucky Number 13? Sekolah favorit. Siapa yang tak mau menjadi bagian di dalamnya? Dan tepat di urutan 13 ada namaku di daftar siswa yang diterima. Artinya tahun depan akan ada kakak kelas keren itu lagi yang mengisi hari-hari. Ah, tunggu.. Ada juga si A, B, C, siapa lagi itu!? Sepertinya aku perlu meluruskan niat lagi. Bukan mereka tujuanku ada di sini. *** Dza, Underachiever Di sini semua "anak pintar" yang pernah kutemui berkumpul. Kakak kelas yang dulu, mbak itu, mas ini. Dan aku? Masih tetap di sepuluh besar di kelas, bedanya kali dari urutan terbawah. Apa aku tak lagi pintar? Ah bukan, apa iya aku ini pintar jika tak lagi juara di kelas. Kenapa harus dibandingkan dengan mereka? Seiring waktu aku pun semakin tertinggal. Bukan dengan teman di kelasku, tapi dengan diriku sendiri. Aku tak lagi berusaha menjadi pintar atau tertarik dengan orang pintar. *** Dza, Bulu Burung Diantara pencarianku, semakin banyak orang yang menarik perhatianku. Si jago bela diri, si

Berkenalan Dengan si "Buah Sabun"

Beberapa waktu terakhir saya mulai tertarik menyimak beranda media sosial para penggiat zero waste. Mulai dari mencegah sampah masuk ke rumah, memilah sampah, dan terakhir mengolah sampah. Banyak sekali ilmu yang sebenarnya merupakan kearifan lokal di daerah namun mulai tergerus zaman dimana semua serba instan dan melupakan tugas manusia sebagai pemakmur bumi. Meskipun saya belum bisa melakukan hidup nol sampah sepenuhnya, setidaknya mengurangi sampah sepertinya sangat bisa dilakukan. Satu yang paling membuat saya penasaran adalah buah kecil mirip kelengkeng yang katanya bisa menjadi sabun cuci alami pengganti detergen yang pada umumnya digunakan. Buah ini disebut klerak atau lerak. Bagi saya pribadi, lerak lebih familiar digunakan untuk mencuci batik agar warnanya awet tak mudah pudar. Selebihnya saya tidak punya referensi apapun tentang buah ini. Maka bermodal rasa penasaran ini lah, saya pun bertanya pada generasi sebelumnya yang kemungkinan besar pernah hidup di masa belum ada s

Part 1 : SMART

Dza, Pulang Sekolah Bel sudah berbunyi beberapa waktu yang lalu. Kerumunan siswa yang melewati gerbang utama sudah semakin berkurang. Wajar, semua ingin cepat sampai rumah di akhir pekan seperti ini. Aku memilih lewat gerbang sebelah barat yang lebih sepi. Beberapa siswa perempuan berjalan berlawanan arah denganku. Oh, anak kelas sebelah. Beberapa kali kulihat ia sering bertukar pekerjaan rumah dengan teman sekelasku. Aku hanya tersenyum. Menyapa ala kadarnya. Rasanya aneh untuk terlalu akrab dengan temannya teman. "Salam ya ke Zifa.. Cowokmu kan itu", katanya menggoda. Krik.. Krik.. Krik.. Aku butuh waktu lebih lama mencerna kalimat terakhirnya. Tahu darimana gadis ini, jika aku menaruh rasa pada Zifa? Ah ya, Zifa teman sekelasku selama setahun terakhir. Pemuda berkacamata itu memang bintang kelas, siapa yang tak kenal. Cowok pintar memang menarik ya? Lalu berkelebat wajah si kakak kelas berponi yang selalu juara umum saat masih sekolah di sini. Muncul juga si langgana

Membandingkan

Di kehamilan pertama, terasa sekali saya mudah tersentuh. Bahkan sering menangis tanpa sebab yang jelas. Ibu hamil memang sensitif. Pun di kehamilan kali ini, hanya saja tak seekstrim pertama. Saat adik baru lahir, banyak hal mirip 11-12 dengan kakak. Wajah yang mirip, rambut hitam lurus yang sama, mata coklat, seperti memulai kembali bertemu kakak pertama kali. Pengalaman-pengalaman saat membersamai kakak pun berkelebatan, menjadi amunisi melewati berbagai tantangan memasuki dunia kedua. Ketika Allah titipkan amanah baru bagi kami, selalu saja terbersit rasa untuk membandingkan. Dulu waktu hamil pertama sering merasakan morning sickness hingga menguras isi perut, sedangkan kehamilan kali ini tidak. Dulu si kakak masih sanggup antri dokter hingga tengah malam. Sedang yang ini sejak periksa pertama hingga melahirkan cukup dengan bidan. Dulu tak bisa merasakan IMD. Dulu kakak masih sulit membedakan siang malam, begadang bahkan hingga bulan ke enam. Maka kami harusnya lebih bersyukur ke