Langsung ke konten utama

Part 1 : SMART

Dza, Pulang Sekolah

Bel sudah berbunyi beberapa waktu yang lalu. Kerumunan siswa yang melewati gerbang utama sudah semakin berkurang. Wajar, semua ingin cepat sampai rumah di akhir pekan seperti ini.

Aku memilih lewat gerbang sebelah barat yang lebih sepi. Beberapa siswa perempuan berjalan berlawanan arah denganku. Oh, anak kelas sebelah. Beberapa kali kulihat ia sering bertukar pekerjaan rumah dengan teman sekelasku. Aku hanya tersenyum. Menyapa ala kadarnya. Rasanya aneh untuk terlalu akrab dengan temannya teman.

"Salam ya ke Zifa.. Cowokmu kan itu", katanya menggoda.

Krik.. Krik.. Krik..

Aku butuh waktu lebih lama mencerna kalimat terakhirnya. Tahu darimana gadis ini, jika aku menaruh rasa pada Zifa? Ah ya, Zifa teman sekelasku selama setahun terakhir. Pemuda berkacamata itu memang bintang kelas, siapa yang tak kenal. Cowok pintar memang menarik ya? Lalu berkelebat wajah si kakak kelas berponi yang selalu juara umum saat masih sekolah di sini. Muncul juga si langganan olimpiade yang sudah lama tak kutemui.

Saat aku masih menikmati "menarik" versiku, gadis itu sudah berlalu bersama temannya. Aku pun tak bisa menahan tertawa. Sepertinya dia salah orang. Zifa memang punya teman dekat, anak kelas sebelah yang tingginya hampir sama denganku. Tapi sepertinya mbak itu lebih kalem, lebih putih, lebih pintar...

Apa harus pintar untuk jadi menarik?
Apa aku pintar?
Apa aku menarik?

Tunggu dulu. Apa ini? Ujian tentang jika x maka y? Mungkin aku butuh remidi beberapa kali untuk bisa menyelesaikan soal ini.

#Part1

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Alir Rasa Kelas Bunda Cekatan

Alhamdulillah, puji syukur ke hadirat Allah Ta'ala yang telah memberikan kelapangan hingga mampu menyelesaikan kelas Bunda Cekatan batch #1 Institut Ibu Profesional.  Challenge Buncek: Done! Terimakasih untuk Ibu Septi Peni Wulandani yang telah menjadi guru bagi kami, setia membawa dongeng istimewa di setiap pekannya. Terimakasih untuk team belakang layar Buncek #1 (Mak Ika dkk), teman-teman satu angkatan, dan tentu all team Griya Wistara yang mendukung saya belajar sampai di tahap ini. Apa yang membuat bahagia selama berada di kelas Bunda Cekatan? Kelas Bunda Cekatan menyimpan banyak sekali stok bahagia yang bisa diambil oleh siapa saja dengan cara yang tak pernah sama. Rasanya tak ada habisnya jika harus disebutkan satu per satu. Potongan gambar berikut cukup mewakili proses yang telah saya lalui. Tahap Telur-Telur Saya jadi tahu apa yang membuat saya bahagia. Apa yang penting dan urgent untuk segera dipelajari. Dan saya diijinkan untuk membuat pe...

Oncek Tela; Tradisi Mengupas Singkong Bersama

 Sekitar tahun 2000-an, ada kegiatan membuka lahan baru di bukit seberang. Deru mesin pemotong kayu bersahutan. Pohon-pohon besar dicabut hingga ke akarnya. Entah kemana perginya hewan-hewan penghuni hutan. Berpindah tempat tinggal atau justru tersaji ke meja makan.  Aroma dedaunan serta kayu basah menyebar. Tak hanya lewat buku pelajaran IPA, aku bisa melihat langsung lingkaran tahun belasan hingga puluhan lapis. Pohon-pohon itu akhirnya menyerah dengan tangan manusia. Tunggu dulu... Mengapa orang-orang justru bersuka cita? Bukankah menggunduli hutan bisa berisiko untuk tanah di perbukitan seperti ini? Waktu berselang, pertama kalinya aku menapak ke bukit seberang. Setelah menyeberang dua tiga sungai, dilanjutkan jalan menanjak hingga ke atas. Terhampar tanah cokelat yang siap menumbuhkan tanaman baru. Aku melihat terasering di bukit seberang, rumahku tersembunyi di balik rimbun pohon kelapa. Di kiri kanan terhimpun potongan pohon singkong yang siap ditancapkan. Jenis singkon...

Jejak Ki Hadjar Dewantara di Hardiknas 2024

 Siapa nama pahlawan nasional yang hari lahirnya dijadikan Hari Pendidikan Nasional? Pasti kalian sudah hafal di luar kepala. Beliau yang lahir dengan nama Raden Mas Soewardi Suryaningrat hingga akhirnya berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara di usia 40 tahun. Anak ke-5 dari 9 bersaudara yang memiliki keteguhan dalam memperjuangkan idealisme sepanjang hidupnya.  Kisah beliau seolah tak asing, seperti menonton perjalanan seorang changemaker yang bermula dari tumbuh suburnya empati. Meskipun lahir dari keluarga ningrat, Soewardi menangkap diskriminasi tentang hak pendidikan yang hanya dinikmati oleh keluarga priyayi dan Belanda. Sementara rakyat pribumi yang merupakan teman-teman bermainnya di masa kecil tak bisa mengakses fasilitas sekolah yang dibuat Belanda di zaman itu. Soewardi muda belajar di Yogyakarta, hingga berlanjut di STOVIA meskipun tidak sampai lulus. Tentu saja ini berkaitan dengan perjuangannya sebagai "seksi media" di Budi Utomo, menyebarkan tulisan yang ber...