Langsung ke konten utama

Part 2 : Berbakat

Dza, Lucky Number 13?

Sekolah favorit. Siapa yang tak mau menjadi bagian di dalamnya? Dan tepat di urutan 13 ada namaku di daftar siswa yang diterima. Artinya tahun depan akan ada kakak kelas keren itu lagi yang mengisi hari-hari. Ah, tunggu.. Ada juga si A, B, C, siapa lagi itu!? Sepertinya aku perlu meluruskan niat lagi. Bukan mereka tujuanku ada di sini.

***
Dza, Underachiever

Di sini semua "anak pintar" yang pernah kutemui berkumpul. Kakak kelas yang dulu, mbak itu, mas ini. Dan aku? Masih tetap di sepuluh besar di kelas, bedanya kali dari urutan terbawah.

Apa aku tak lagi pintar?
Ah bukan, apa iya aku ini pintar jika tak lagi juara di kelas. Kenapa harus dibandingkan dengan mereka?

Seiring waktu aku pun semakin tertinggal. Bukan dengan teman di kelasku, tapi dengan diriku sendiri. Aku tak lagi berusaha menjadi pintar atau tertarik dengan orang pintar.

***
Dza, Bulu Burung

Diantara pencarianku, semakin banyak orang yang menarik perhatianku. Si jago bela diri, si anak band, si anak organisasi, si ini si itu. Mereka keren banget ya. Mungkin menyenangkan menjadi teman mereka.

Faktanya, tak ada obrolan nyambung yang bisa kubicarakan saat bersama orang-orang keren ini. Kata pepatah, burung yang berbulu sama akan berkumpul juga. Ngomong-ngomong, apa warna buluku?

***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Alir Rasa Kelas Bunda Cekatan

Alhamdulillah, puji syukur ke hadirat Allah Ta'ala yang telah memberikan kelapangan hingga mampu menyelesaikan kelas Bunda Cekatan batch #1 Institut Ibu Profesional.  Challenge Buncek: Done! Terimakasih untuk Ibu Septi Peni Wulandani yang telah menjadi guru bagi kami, setia membawa dongeng istimewa di setiap pekannya. Terimakasih untuk team belakang layar Buncek #1 (Mak Ika dkk), teman-teman satu angkatan, dan tentu all team Griya Wistara yang mendukung saya belajar sampai di tahap ini. Apa yang membuat bahagia selama berada di kelas Bunda Cekatan? Kelas Bunda Cekatan menyimpan banyak sekali stok bahagia yang bisa diambil oleh siapa saja dengan cara yang tak pernah sama. Rasanya tak ada habisnya jika harus disebutkan satu per satu. Potongan gambar berikut cukup mewakili proses yang telah saya lalui. Tahap Telur-Telur Saya jadi tahu apa yang membuat saya bahagia. Apa yang penting dan urgent untuk segera dipelajari. Dan saya diijinkan untuk membuat pe...

Oncek Tela; Tradisi Mengupas Singkong Bersama

 Sekitar tahun 2000-an, ada kegiatan membuka lahan baru di bukit seberang. Deru mesin pemotong kayu bersahutan. Pohon-pohon besar dicabut hingga ke akarnya. Entah kemana perginya hewan-hewan penghuni hutan. Berpindah tempat tinggal atau justru tersaji ke meja makan.  Aroma dedaunan serta kayu basah menyebar. Tak hanya lewat buku pelajaran IPA, aku bisa melihat langsung lingkaran tahun belasan hingga puluhan lapis. Pohon-pohon itu akhirnya menyerah dengan tangan manusia. Tunggu dulu... Mengapa orang-orang justru bersuka cita? Bukankah menggunduli hutan bisa berisiko untuk tanah di perbukitan seperti ini? Waktu berselang, pertama kalinya aku menapak ke bukit seberang. Setelah menyeberang dua tiga sungai, dilanjutkan jalan menanjak hingga ke atas. Terhampar tanah cokelat yang siap menumbuhkan tanaman baru. Aku melihat terasering di bukit seberang, rumahku tersembunyi di balik rimbun pohon kelapa. Di kiri kanan terhimpun potongan pohon singkong yang siap ditancapkan. Jenis singkon...

Jejak Ki Hadjar Dewantara di Hardiknas 2024

 Siapa nama pahlawan nasional yang hari lahirnya dijadikan Hari Pendidikan Nasional? Pasti kalian sudah hafal di luar kepala. Beliau yang lahir dengan nama Raden Mas Soewardi Suryaningrat hingga akhirnya berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara di usia 40 tahun. Anak ke-5 dari 9 bersaudara yang memiliki keteguhan dalam memperjuangkan idealisme sepanjang hidupnya.  Kisah beliau seolah tak asing, seperti menonton perjalanan seorang changemaker yang bermula dari tumbuh suburnya empati. Meskipun lahir dari keluarga ningrat, Soewardi menangkap diskriminasi tentang hak pendidikan yang hanya dinikmati oleh keluarga priyayi dan Belanda. Sementara rakyat pribumi yang merupakan teman-teman bermainnya di masa kecil tak bisa mengakses fasilitas sekolah yang dibuat Belanda di zaman itu. Soewardi muda belajar di Yogyakarta, hingga berlanjut di STOVIA meskipun tidak sampai lulus. Tentu saja ini berkaitan dengan perjuangannya sebagai "seksi media" di Budi Utomo, menyebarkan tulisan yang ber...