Langsung ke konten utama

Topi

Berkali-kali kugerakkan brushpen merah yang baru kubeli kemarin. Beberapa lembar kertas kuletakkan sekenanya di meja sebelah. Setelah tak mampu memenuhi ekspektasiku soal seni menulis indah tentu saja.

Ah, kenapa masih saja terasa kaku. Harus berapa kali aku harus berlatih agar luwes seperti di tutorial-tutorial yang sering kutonton? Mau tak mau aku harus bersabar, butuh waktu lebih untuk belajar hal satu ini. Apa mau dikata, telanjur cinta. Memang dasarnya tulisan tanganku acak-acakan. Dan pasti tak akan ada hari itu jika tulisanku cukup "indah". Minimal mudah dibaca.

***

Aku melirik Kris yang sedang duduk di sebelahku. Mau tak mau aku memohon bantuannya kali ini. Hanya dia yang kukenal di sini. Padahal sehari-hari aku pun jarang menyapa teman sekelasku ini. Dia hanya tersenyum, mengangkat bahunya sambil melirik ke bocah-bocah di sebelahnya.

"Siapa namanya? Kenalan dong?", seloroh bocah usil di sebelah yang sedang membawa topiku. Suara usil bocah di sebelahnya ikut menambahi.

Aku membisu. Membiarkan pertanyaannya mengambang. Siapa tahu topiku akan kembali dengan sendirinya tanpa harus kuminta berulang kali seperti tadi.

"Kris, siapa nama temenmu? Kenalin dong.. ", sekarang dia mulai mencecar teman sekelasku itu. Anak lelaki memang mudah akrab, entah sebelumnya mereka sudah kenal atau bagaimana.

Kulirik sekilas bocah tinggi itu, 'kalau sampai loe kasih tau, jangan harap bisa selamat besok!' teriakku dalam hati.

"Itu di topi ada namanya, lihat aja sendiri", Kris akhirnya buka suara.

'Yaassalaaam.. Kenapa dikasih tau sih, Kris!', aku merutuki kalimatnya dalam hati.

"Oiya, ada.. D-E-L-T-R? Eh? Siapa.. DIETER ya?"

Aku tertawa dalam hati. 'Aelah, belajar baca sana!'
Dan pertanyaan soal namaku terus berlanjut sampai pengumuman pemenang lomba disebutkan berurutan. Sebenarnya aku sendiri bingung, untuk apa capek-capek ke sini. Kalau bukan instruksi wali kelas, mending di rumah nonton anime manusia setengah anjing yang mengejar pecahan bola kristal.

"Udah ah, ntar nangis ni anak kalian godain mulu.", Kris mencoba menghentikan ulah bocah-bocah sekolah sebelah yang dari tadi menggangguku. Dan akhirnya topiku kembali tepat sebelum acara berakhir.

"Eh, siapa tadi? Delta ya? Kenalin, gue Arel."
Kuabaikan tangannya yang terulur. Tampak anak lelaki yang sedari tadi di sampingnya menyalaminya. Kemudian sebuah nama hewan terucap begitu saja dari mulutnya. Spontan aku beristighfar dalam hati. Berharap segera sampai di rumah dengan selamat.

***

Kutarik nafas panjang, melepas pandangan pada tembok buram di salah satu sisi kamarku. Kuperhatikan topi yang tadi tiba-tiba berpindah tangan pada anak lelaki usil yang mengaku bernama Arel. Kueja perlahan huruf yang kutulis di sana, 'D-E-L-T-A'. Hmm.. Huruf A-nya memang lebih mirip R, pantas saja anak tadi salah eja. Ternyata tulisanku yang memang tak terbaca.

Baru kali ini ada bocah yang berani jahil padaku. Biasanya di sekolah hidupku begitu tenang jika berhubungan dengan lawan jenis. Ya iyalah, siapa yang mau cari gara-gara jika ada  satpam yang selalu stand by. Bapak mengajar di sekolah yang sama dengan tempatku belajar.

'Ahh.. Kenapa gue jadi baper gara-gara bocah tadi?'. Padahal sudah berusaha jaim setengah mati, barangkali bisa ketemu Rama di acara tadi. Berusaha mencuri pandangan ke tempat perwakilan sekolah sebelah. Yang ditunggu tak nampak, yang hadir justru bocah-bocah kurang kerjaan penculik topi.

Ya, meskipun nggak mungkin juga sok kenal jika benar ada Rama di sana. Beberapa kali ikut kompetisi yang sama membuatku tertarik pada anak lelaki yang tak banyak bicara itu. Kau tahu kan, cowok pintar dan misterius itu lebih menarik daripada yang usil dan banyak bicara? Eh, kenapa jadi membandingkan dua orang tadi? Bisa jadi Rama kenal aku pun tidak.

***

Beberapa tahun berlalu, dan aku pun mulai lupa dengan Arel atau siapa lah namanya. Angkot yang tadi kutumpangi baru setengah jalan. Seorang anak laki-laki berkacamata naik dan duduk di sebelah. Dia pun menyapaku, sekadar bertanya PR  hari ini.

"Udah ngerjain, tapi jangan tanya bener salahnya. Yang ada aku yang harusnya nyontek kerjaanmu, RAMA..!"

Akhirnya aku satu kelas dengan si misterius yang sempat "menarik" perhatianku waktu itu. Bukannya dekat, justru aku semakin yakin untuk tak mendekat dengan lelaki satu ini. Bicara dengannya membuatku butuh energi lebih untuk bisa mengikuti jalan pikirannya. Secara kasat mata, berbanding lurus dengan tinggi badan kami saat ini. Njomplang.

Lagipula tak pernah ada di kamus Delta, dekat dengan teman seangkatan apalagi sekelas. Cukup tahu aja sifat asli para makhluk dengan kromosom XY dengan melihat keseharian mereka. Tanpa urusan cinta-cintaan aja rangking gue udah di deretan sepuluh besar dari belakang. Apalagi ditambah PR ngurusi anak orang???

***

"Eh.. Lihat.. Lihat.. Yang belah samping lumayan bening tuh," Bunga berbisik.

"Mending yang tinggi deh," Lia tak sepakat.

"Eh, pliss.. Mbak-mbak, tolong matanya dikondisikan", protesku pada dua temanku yang sibuk 'memilih' cowok ganteng versi mereka. Aku memilih melihat ke arah lain, malu pada kerudung yang kukenakan.

"Rejeki jangan ditolak kali Del. Eh.. Itu Arel kan?"

Refleks aku pun mencuri pandang. Ah, sebenarnya aku pun tak begitu familiar dengan wajahnya. Aku hanya ingat ulah jahilnya beberapa waktu silam.

"Ehem.. Gadhul bashar mbak..", kali ini giliran Bunga menyikut lenganku.

"Iya.. Iya.."

"Kamu kenal Arel?" tanyanya penasaran.

"Nggak kenal.", jawabku datar.

"Sepertinya tatapanmu menolak ujaran lisanmu, Nona."

"Mulai deh, lebay."

"Arel dulu satu sekolah sama Rama kan ya?", Lia ikut menimpali.

"Iya," aku refleks menjawab.

"Ehem.. Tuh kan.. Jadi Arel apa Rama nih?", Bunga mulai menggodaku.

"Sudah sudah.. Jangan ada gosip diantara kita,"

"Soalnya kamu nggak biasanya tertarik saat kita lagi ngelirik cowok-cowok, Del.. Haha,", Lia menambahi.

"Be te we, beneran Rama, ya?", Bunga masih belum menyerah.

"Kagum aja kali! Itu juga dulu.. Waktu kita belum sekelas sama dia. Waktu gue belum tahu betapa pedasnya tiap kata-kata yang dia ucap. Udah kaya sambel pake cabe sekilo."

"Kayanya kalau sama gue, emang suka pedes tuh cowok. Tapi kayae sama loe nggak deh!"

"Jangan bikin gue baper, Nona Bunga!"

"Trus kalau Arel?"

Aku menyerah dengan interogasi kali ini. Kuceritakan tentang topi dan salah eja waktu itu. Lagipula apa istimewanya bocah iseng satu ini. Paling juga tak lagi ingat siapa aku.

***
"Boleh, berhenti dulu nggak Mas? Mau mampir di toko itu."

"Oke..", lelaki yang memboncengku menjawab santai.

Kuulurkan selembar rupiah pada pemilik toko setelah kuterima barang yang kubutuhkan. Sekilas kulihat dia mencari uang kembalian sebelum memberikan padaku. Tak ada kalimat lain, hanya 'terimakasih' yang dikatakan si penjual.

'Oh, udah nggak inget dulu pernah nyandera topi gue waktu SD?', teriakku dalam hati.

"Sudah?", tanya Mas Aray di atas motornya.

Aku mengangguk. Segera kukenakan helm biru sebelum melanjutkan perjalanan dengan motor hitam yang sedang menungguku. Kupeluk perlahan pinggang lelaki di depanku.

"Kenapa?", tanyanya.

"Gapapa. Hehe...", Tawaku menggantung terbawa angin.

"Pasti ada apa-apa.. Nggak biasanya tiba-tiba meluk."

"Ya udah, nggak jadi.", sebelah tangannya menggenggam tanganku sebelum kuurai dari pinggangnya.

"Nggak jadi apa?", Mukaku bersemu kali ini. Untunglah kali ini Mas Aray tak melihat wajahku.

Aih, dulu aku ternyata begitu lugu. Soal topi saja bisa membuat baper. Ya, meskipun sekarang pun masih  sama saja. Mudah baper dengan hal remeh yang dilakukan Mas Aray setahun terakhir. Pulang kerja membawa rujak buah untuk istri misalnya. Atau genggaman tangan yang barusan juga termasuk?

'Hmmm..tapi baper pada tempatnya, tak masalah kan, ya?'
***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Alir Rasa Kelas Bunda Cekatan

Alhamdulillah, puji syukur ke hadirat Allah Ta'ala yang telah memberikan kelapangan hingga mampu menyelesaikan kelas Bunda Cekatan batch #1 Institut Ibu Profesional.  Challenge Buncek: Done! Terimakasih untuk Ibu Septi Peni Wulandani yang telah menjadi guru bagi kami, setia membawa dongeng istimewa di setiap pekannya. Terimakasih untuk team belakang layar Buncek #1 (Mak Ika dkk), teman-teman satu angkatan, dan tentu all team Griya Wistara yang mendukung saya belajar sampai di tahap ini. Apa yang membuat bahagia selama berada di kelas Bunda Cekatan? Kelas Bunda Cekatan menyimpan banyak sekali stok bahagia yang bisa diambil oleh siapa saja dengan cara yang tak pernah sama. Rasanya tak ada habisnya jika harus disebutkan satu per satu. Potongan gambar berikut cukup mewakili proses yang telah saya lalui. Tahap Telur-Telur Saya jadi tahu apa yang membuat saya bahagia. Apa yang penting dan urgent untuk segera dipelajari. Dan saya diijinkan untuk membuat pe...

Oncek Tela; Tradisi Mengupas Singkong Bersama

 Sekitar tahun 2000-an, ada kegiatan membuka lahan baru di bukit seberang. Deru mesin pemotong kayu bersahutan. Pohon-pohon besar dicabut hingga ke akarnya. Entah kemana perginya hewan-hewan penghuni hutan. Berpindah tempat tinggal atau justru tersaji ke meja makan.  Aroma dedaunan serta kayu basah menyebar. Tak hanya lewat buku pelajaran IPA, aku bisa melihat langsung lingkaran tahun belasan hingga puluhan lapis. Pohon-pohon itu akhirnya menyerah dengan tangan manusia. Tunggu dulu... Mengapa orang-orang justru bersuka cita? Bukankah menggunduli hutan bisa berisiko untuk tanah di perbukitan seperti ini? Waktu berselang, pertama kalinya aku menapak ke bukit seberang. Setelah menyeberang dua tiga sungai, dilanjutkan jalan menanjak hingga ke atas. Terhampar tanah cokelat yang siap menumbuhkan tanaman baru. Aku melihat terasering di bukit seberang, rumahku tersembunyi di balik rimbun pohon kelapa. Di kiri kanan terhimpun potongan pohon singkong yang siap ditancapkan. Jenis singkon...

Jejak Ki Hadjar Dewantara di Hardiknas 2024

 Siapa nama pahlawan nasional yang hari lahirnya dijadikan Hari Pendidikan Nasional? Pasti kalian sudah hafal di luar kepala. Beliau yang lahir dengan nama Raden Mas Soewardi Suryaningrat hingga akhirnya berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara di usia 40 tahun. Anak ke-5 dari 9 bersaudara yang memiliki keteguhan dalam memperjuangkan idealisme sepanjang hidupnya.  Kisah beliau seolah tak asing, seperti menonton perjalanan seorang changemaker yang bermula dari tumbuh suburnya empati. Meskipun lahir dari keluarga ningrat, Soewardi menangkap diskriminasi tentang hak pendidikan yang hanya dinikmati oleh keluarga priyayi dan Belanda. Sementara rakyat pribumi yang merupakan teman-teman bermainnya di masa kecil tak bisa mengakses fasilitas sekolah yang dibuat Belanda di zaman itu. Soewardi muda belajar di Yogyakarta, hingga berlanjut di STOVIA meskipun tidak sampai lulus. Tentu saja ini berkaitan dengan perjuangannya sebagai "seksi media" di Budi Utomo, menyebarkan tulisan yang ber...