Langsung ke konten utama

Menerima

Pernah kugantung angan, ingin bertemu jodoh di tempat romantis. Seperti jajaran romansa kisah cinta di tepian pantai berpasir, di antara pemandangan menghijau, atau di bandara menunggu penerbangan eksklusif. Lalu ketika takdirmu bertemu jodoh di terminal, apa mau dikata?

Begitupun sederet kriteria calon idaman yang kau harapkan. Tak usah terlalu tinggi, agar bisa memandangi saat jalan bersama. Tak apa hitam manis dengan senyum menawan seperti artis idola. Jika Allah mengirim yang lebih tinggi dan berkulit putih, apa kau sanggup menolak?

Kata romantis dengan alunan lagu suara merdu sang kekasih. Siapa yang tak mau hal ini menghiasi hari-hari. Tapi kadang jodohmu tak sesempurna ini. Jangankan kata romantis, di kepalanya lebih banyak rumus-rumus. Namun bila sudah cinta, suara sumbang pun tak jadi masalah bukan?

Pun juga soal anak-anak. Sekeras apapun kita berharap anak perempuan, tak ada gunanya menolak jika takdirnya laki-laki yang menjadi darah daging kita. Begitu pula sebaliknya. Setelah menunggu sekian bulan dengan serbaneka ujian, hadirnya diantarkan gelombang cinta penuh haru bahagia. Yakin tak jatuh cinta?

Mungkin kita terlalu banyak membaca novel,menonton film, hingga status media sosial soal percintaan. Dimana standar-standar romantisme disamaratakan. Padahal tetap saja ada bahagia meski tiap orang punya cerita yang berbeda. Tinggal memeriksa kembali frekuensi syukur dalam diri, apakah sudah menerima takdirNya dengan sepenuh jiwa?

Diawinasis M Sesanti
Tgk, 17 Juli 2018

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Alir Rasa Kelas Bunda Cekatan

Alhamdulillah, puji syukur ke hadirat Allah Ta'ala yang telah memberikan kelapangan hingga mampu menyelesaikan kelas Bunda Cekatan batch #1 Institut Ibu Profesional.  Challenge Buncek: Done! Terimakasih untuk Ibu Septi Peni Wulandani yang telah menjadi guru bagi kami, setia membawa dongeng istimewa di setiap pekannya. Terimakasih untuk team belakang layar Buncek #1 (Mak Ika dkk), teman-teman satu angkatan, dan tentu all team Griya Wistara yang mendukung saya belajar sampai di tahap ini. Apa yang membuat bahagia selama berada di kelas Bunda Cekatan? Kelas Bunda Cekatan menyimpan banyak sekali stok bahagia yang bisa diambil oleh siapa saja dengan cara yang tak pernah sama. Rasanya tak ada habisnya jika harus disebutkan satu per satu. Potongan gambar berikut cukup mewakili proses yang telah saya lalui. Tahap Telur-Telur Saya jadi tahu apa yang membuat saya bahagia. Apa yang penting dan urgent untuk segera dipelajari. Dan saya diijinkan untuk membuat pe...

Oncek Tela; Tradisi Mengupas Singkong Bersama

 Sekitar tahun 2000-an, ada kegiatan membuka lahan baru di bukit seberang. Deru mesin pemotong kayu bersahutan. Pohon-pohon besar dicabut hingga ke akarnya. Entah kemana perginya hewan-hewan penghuni hutan. Berpindah tempat tinggal atau justru tersaji ke meja makan.  Aroma dedaunan serta kayu basah menyebar. Tak hanya lewat buku pelajaran IPA, aku bisa melihat langsung lingkaran tahun belasan hingga puluhan lapis. Pohon-pohon itu akhirnya menyerah dengan tangan manusia. Tunggu dulu... Mengapa orang-orang justru bersuka cita? Bukankah menggunduli hutan bisa berisiko untuk tanah di perbukitan seperti ini? Waktu berselang, pertama kalinya aku menapak ke bukit seberang. Setelah menyeberang dua tiga sungai, dilanjutkan jalan menanjak hingga ke atas. Terhampar tanah cokelat yang siap menumbuhkan tanaman baru. Aku melihat terasering di bukit seberang, rumahku tersembunyi di balik rimbun pohon kelapa. Di kiri kanan terhimpun potongan pohon singkong yang siap ditancapkan. Jenis singkon...

Jejak Ki Hadjar Dewantara di Hardiknas 2024

 Siapa nama pahlawan nasional yang hari lahirnya dijadikan Hari Pendidikan Nasional? Pasti kalian sudah hafal di luar kepala. Beliau yang lahir dengan nama Raden Mas Soewardi Suryaningrat hingga akhirnya berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara di usia 40 tahun. Anak ke-5 dari 9 bersaudara yang memiliki keteguhan dalam memperjuangkan idealisme sepanjang hidupnya.  Kisah beliau seolah tak asing, seperti menonton perjalanan seorang changemaker yang bermula dari tumbuh suburnya empati. Meskipun lahir dari keluarga ningrat, Soewardi menangkap diskriminasi tentang hak pendidikan yang hanya dinikmati oleh keluarga priyayi dan Belanda. Sementara rakyat pribumi yang merupakan teman-teman bermainnya di masa kecil tak bisa mengakses fasilitas sekolah yang dibuat Belanda di zaman itu. Soewardi muda belajar di Yogyakarta, hingga berlanjut di STOVIA meskipun tidak sampai lulus. Tentu saja ini berkaitan dengan perjuangannya sebagai "seksi media" di Budi Utomo, menyebarkan tulisan yang ber...