Langsung ke konten utama

Pecahan Persona

Wajah-wajah ini tak lagi asing bagiku. Beberapa semester yang telah berlalu, kami habiskan bersama dengan belajar ilmu tentang perilaku. Semua tampak duduk di deretan kursi hitam yang disusun di ruang tunggu. Kemeja putih, rok dan celana bahan berwarna hitam menambah kesan kaku.

"Sebentar lagi akan kami panggil sesuai nomor urut", seseorang dengan pakaian berbeda memberi pengumuman sebelum menghilang kembali di balik pintu.

Tiba juga giliranku. Aku tak ingat betul angka berapa saja yang disebut. Tetapi kini di kiri kananku ada lebih dari lima kepala. Sedang sibuk mengisi lembar jawaban dari soal yang diletakkan di meja. Tepat di hadapan tiap mata.

Bergiliran tiap gelombang mengeja tiap kata. Menuliskan rangkaian respons dari setiap tanya. Kadang lebih banyak karangan indah ditemukan di sana, keluar jalur dari plang petunjuk pengerjaan sebenarnya.

Kulihat beberapa panitia sibuk memeriksa tiap lembar "karya" tiap peserta. Dua nilai tertinggi akan bertanding dan ditentukan pemenangnya lewat debat terbuka. Aku tak berharap banyak, tapi aku tahu namaku akan menjadi salah satunya. Entah darimana keyakinan itu hadir begitu saja. Seperti air yang tak perlu belajar gravitasi untuk mengalir ke tempat rendah. Layaknya mentari yang tak perlu berebut panggung dengan gemintang di malam hari.

Berada di tahap akhir kompetisi. Ditemani seorang dosen muda, kulitnya putih berkacamata. Hijabnya hijau lembayung, menambah teduh pembawaannya. Tunggu dulu, bukannya dia teman seangkatanku. Dan tanpa komando, kami pun bertutur tentang masa lalu. Mengenang remah peristiwa tempo dulu.

Hingga tanpa sadar, pertanyaan penentuan pun terlontar. Menanti jawaban lawan, begitu yakin dengan argumen tak terbantahkan. Tapi aku menemukan ragu di sorot matanya. Tak perlu panjang lebar, cukup kulempar sebaris umpan pertanyaan. Ah, mempertanyakan lebih tepatnya.

Gemuruh bersahutan. Antara ucapan tulus hingga sorakan meremehkan. Menggema di kepalaku hingga penuh hampir tumpah. Seorang menjabat tanganku. Sepertinya beliau bicara tentang posisi yang kutempati selepas memenangi pertarungan tadi.

Hei, tunggu dulu! Omong kosong apalagi ini. Aku tak punya waktu mengejar jabatan di sini. Aku sudah lama berdamai meninggalkan gengsi.  Bukannya tadi aku sedang menuangkan isi kepala lewat tulisan. Aku juga sedang menikmati aroma bahagia di setiap goresan tinta, kuas, dan cat warna-warni. Aku merasa "ada" dengan menghabiskan waktu bersama dua gadis bersaudara. Sambil memeluk asa bersama ayah mereka.



Perlahan kesadaranku kembali. Potongan bunga tidur memaksaku bernostalgia dengan kompetisi. Sebelum akhirnya kuputuskan berhenti membandingkan diri dengan pribadi lain yang sebenarnya tak kukenali. Mungkin ini hadiah dari mimpi karena tak turut terbawa euforia CePeeNeS kapan hari.

Aku memilih meletakkan batu-batu ke arah berbeda. Tak semua orang suka melewati jalan makadam. Roda-roda akan lebih lama menggulung jarak yang diinginkan. Mungkin juga lebih lama sampai di tujuan. Tapi akan berbeda jika garis akhirnya memang menjauh dari bisingnya roda-roda berkumpul.

Ah, sudahlah. Tiap orang punya peta masing-masing, kemana arah kapalnya akan berlayar selepas mengangkat jangkar. Tak semua kapten kapal ingin menjadi raja bajak laut seperti si Mugiwara. Mungkin juga diriku tak ubahnya Marimo yang tak tahu arah, butuh menumpang di kapal kucing pencuri sang ahli navigasi.

Mungkin benar, kalimat perpisahanku enam tahun silam. Nanti akan ada masanya ikan-ikan salmon akan kembali ke tempatnya menetas, setelah pergi bermigrasi menempuh jalan suksesnya sendiri-sendiri. Padahal aku sendiri belum membuat definisi sukses saat mengutip "buku hewan-hewan" yang ngehits di zaman itu. Tak usah sok mengerti.

Jujur saja sekarang pun aku masih mencari. Bahagiaku berceceran bersama remah kue tadi pagi. Sambil menikmati lautan lego mencium telapak kaki. Ternyata tak harus menunggu bongkahan berlian mengetuk pintu untuk merekahkan senyum di sudut bibir ini.

Padahal hanya sepotong mimpi. Tapi hariku serasa lebih panjang. Terlempar pada kepingan kenangan yang mengantar pada hari ini. Mungkin nanti malam harus kupastikan tak ketiduran lagi, saat menunggu kekasih hati.
***

Bunda Wistara,
Mlg, 27 November 2018

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Alir Rasa Kelas Bunda Cekatan

Alhamdulillah, puji syukur ke hadirat Allah Ta'ala yang telah memberikan kelapangan hingga mampu menyelesaikan kelas Bunda Cekatan batch #1 Institut Ibu Profesional.  Challenge Buncek: Done! Terimakasih untuk Ibu Septi Peni Wulandani yang telah menjadi guru bagi kami, setia membawa dongeng istimewa di setiap pekannya. Terimakasih untuk team belakang layar Buncek #1 (Mak Ika dkk), teman-teman satu angkatan, dan tentu all team Griya Wistara yang mendukung saya belajar sampai di tahap ini. Apa yang membuat bahagia selama berada di kelas Bunda Cekatan? Kelas Bunda Cekatan menyimpan banyak sekali stok bahagia yang bisa diambil oleh siapa saja dengan cara yang tak pernah sama. Rasanya tak ada habisnya jika harus disebutkan satu per satu. Potongan gambar berikut cukup mewakili proses yang telah saya lalui. Tahap Telur-Telur Saya jadi tahu apa yang membuat saya bahagia. Apa yang penting dan urgent untuk segera dipelajari. Dan saya diijinkan untuk membuat pe...

Oncek Tela; Tradisi Mengupas Singkong Bersama

 Sekitar tahun 2000-an, ada kegiatan membuka lahan baru di bukit seberang. Deru mesin pemotong kayu bersahutan. Pohon-pohon besar dicabut hingga ke akarnya. Entah kemana perginya hewan-hewan penghuni hutan. Berpindah tempat tinggal atau justru tersaji ke meja makan.  Aroma dedaunan serta kayu basah menyebar. Tak hanya lewat buku pelajaran IPA, aku bisa melihat langsung lingkaran tahun belasan hingga puluhan lapis. Pohon-pohon itu akhirnya menyerah dengan tangan manusia. Tunggu dulu... Mengapa orang-orang justru bersuka cita? Bukankah menggunduli hutan bisa berisiko untuk tanah di perbukitan seperti ini? Waktu berselang, pertama kalinya aku menapak ke bukit seberang. Setelah menyeberang dua tiga sungai, dilanjutkan jalan menanjak hingga ke atas. Terhampar tanah cokelat yang siap menumbuhkan tanaman baru. Aku melihat terasering di bukit seberang, rumahku tersembunyi di balik rimbun pohon kelapa. Di kiri kanan terhimpun potongan pohon singkong yang siap ditancapkan. Jenis singkon...

Jejak Ki Hadjar Dewantara di Hardiknas 2024

 Siapa nama pahlawan nasional yang hari lahirnya dijadikan Hari Pendidikan Nasional? Pasti kalian sudah hafal di luar kepala. Beliau yang lahir dengan nama Raden Mas Soewardi Suryaningrat hingga akhirnya berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara di usia 40 tahun. Anak ke-5 dari 9 bersaudara yang memiliki keteguhan dalam memperjuangkan idealisme sepanjang hidupnya.  Kisah beliau seolah tak asing, seperti menonton perjalanan seorang changemaker yang bermula dari tumbuh suburnya empati. Meskipun lahir dari keluarga ningrat, Soewardi menangkap diskriminasi tentang hak pendidikan yang hanya dinikmati oleh keluarga priyayi dan Belanda. Sementara rakyat pribumi yang merupakan teman-teman bermainnya di masa kecil tak bisa mengakses fasilitas sekolah yang dibuat Belanda di zaman itu. Soewardi muda belajar di Yogyakarta, hingga berlanjut di STOVIA meskipun tidak sampai lulus. Tentu saja ini berkaitan dengan perjuangannya sebagai "seksi media" di Budi Utomo, menyebarkan tulisan yang ber...