Langsung ke konten utama

Review materi 10

_Review Materi 10 kelas bunda sayang Institut Ibu Profesional_

  *IBUKU ASYIK*

Selamat untuk teman-teman yang berhasil melampaui tantangan 10 hari di materi 10 kelas bunda sayang ini. Kalimat judul di atas, adalah rasa yang ada di hati anak-anak kita baik tersurat maupun tersirat di bulan ini.

Satu lagi bukti yang mengatakan bahwa kita tidak perlu harus punya bakat terlebih dahulu untuk bisa mendongeng, kita hanya perlu MAU melakukannya untuk anak-anak dengan penuh cinta.

MAU ini membuka pintu ILMU selanjutnya. Di hari pertama, kita semua pasti merasa kikuk, galau,   bahkan hampir menyerah untuk menuliskan dongeng, kisah ataupun cerita keseharian kita. Hal ini normal karena kita tidak biasa menuliskannya. Setelah berhasil melewati kegalauan hari pertama, kedua, ketiga, akhirnya kitapun terbiasa. Biasa inilah yang membuat kita bisa.

Banyak sekali karya-karya indah yang bermunculan di game level #10 ini.  Harta Karun kita mulai penuh.

Ada cerita-cerita seru yang dibikin oleh para ibu. Ada yang pintar membuat ilustrasi buku. Ada yang memiliki suara merdu. Apabila ketiganya berkolaborasi cantik pasti menghasilkan karya yang apik.

Ada yang mulai senang menulis, ada yang hobi design grafis, ada banyak platform web gratis. Apabila ketiganya berkolaborasi manis,  cerita yang kita tulis di tantangan 10 hari ini, pasti akan menjadi karya yang sangat magis.

Dengan menulis dongeng, kisah, cerita, kita semua secara tidak langsung belajar tentang karakter. Ada yg protagonis, antagonis dan tritagonis. Kita  jadi paham  bahwa tokoh protagonis bukan selalu tokoh baik dalam cerita kita,  demikian juga dengan tokoh antagonis, tidak juga selalu tokoh yang jahat. Mungkin masih melekat dongeng masa kecil kita tentang bawang merah dan bawang putih.Bawang putih itu protagonis dan bawang merah itu antagonis.

Kesalahkaprahan ini membuat literasi kita menjadi kaku, adanya hanya baik jahat, hitam putih, benar salah.

Tokoh protagonis adalah tokoh utama yang mendukung jalannya cerita, sedangkan tokoh antagonis adalah tokoh yang berkonflik dengan tokoh protagonis. Sedangkan tokoh tritagonis adalah tokoh penengah, pendamai konflik antara protagonis dan antagonis.

Contoh dalam cerita "The Pirates of Carribean" yang menjadi tokoh utama, protagonis adalah "Jack Sparrow" seorang perompak, melawan tentara inggris sebagai tokoh antagonisnya.

Apakah di dalam kehidupan nyata perompak itu baik? Dan sebaliknya apakah tentara inggris itu jahat?

Itulah kekuatan dongeng,  karena dongeng itu adalah imajinasi yang kita buat. Imajinasi itu tak berbatas, maka kuncinya ada di karakter pembuatnya dan pesan moral yang ingin disampaikan.

Saatnya kita memperbanyak dongeng baik, bukan justru memusuhi dongeng. Hanya karena kita tidak mampu memproduksi dongeng baik, dan terlibas arus kapitalisasi para produsen dongeng yang kiblatnya hanya uang dan kepentingan.

Saatnya ibu banyak bertutur baik ke anak-anak. Karena bertutur ini adalah budaya kita. Bisa lewat kisah yang sudah ada di kitab-kitab agama, kisah para pahlawan, kisah orang-orang sukses dan bahagia,  cerita pengalaman hidup kita, maupun dongeng yang kita buat berdasarkan imajinasi kita.

Salam Ibu Profesional,

/Tim Fasilitator Bunda Sayang #1/

📚Referensi:
_Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, 2015_

_Institut Ibu Profesional, Dongeng para ibu di tantagan 10 hari, materi #10, Bunda Sayang, 2017_

_Andini Syarif, Tokoh dan Penokohan Dalam Karya Sastra, Jakarta, 2009_

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Alir Rasa Kelas Bunda Cekatan

Alhamdulillah, puji syukur ke hadirat Allah Ta'ala yang telah memberikan kelapangan hingga mampu menyelesaikan kelas Bunda Cekatan batch #1 Institut Ibu Profesional.  Challenge Buncek: Done! Terimakasih untuk Ibu Septi Peni Wulandani yang telah menjadi guru bagi kami, setia membawa dongeng istimewa di setiap pekannya. Terimakasih untuk team belakang layar Buncek #1 (Mak Ika dkk), teman-teman satu angkatan, dan tentu all team Griya Wistara yang mendukung saya belajar sampai di tahap ini. Apa yang membuat bahagia selama berada di kelas Bunda Cekatan? Kelas Bunda Cekatan menyimpan banyak sekali stok bahagia yang bisa diambil oleh siapa saja dengan cara yang tak pernah sama. Rasanya tak ada habisnya jika harus disebutkan satu per satu. Potongan gambar berikut cukup mewakili proses yang telah saya lalui. Tahap Telur-Telur Saya jadi tahu apa yang membuat saya bahagia. Apa yang penting dan urgent untuk segera dipelajari. Dan saya diijinkan untuk membuat pe...

Oncek Tela; Tradisi Mengupas Singkong Bersama

 Sekitar tahun 2000-an, ada kegiatan membuka lahan baru di bukit seberang. Deru mesin pemotong kayu bersahutan. Pohon-pohon besar dicabut hingga ke akarnya. Entah kemana perginya hewan-hewan penghuni hutan. Berpindah tempat tinggal atau justru tersaji ke meja makan.  Aroma dedaunan serta kayu basah menyebar. Tak hanya lewat buku pelajaran IPA, aku bisa melihat langsung lingkaran tahun belasan hingga puluhan lapis. Pohon-pohon itu akhirnya menyerah dengan tangan manusia. Tunggu dulu... Mengapa orang-orang justru bersuka cita? Bukankah menggunduli hutan bisa berisiko untuk tanah di perbukitan seperti ini? Waktu berselang, pertama kalinya aku menapak ke bukit seberang. Setelah menyeberang dua tiga sungai, dilanjutkan jalan menanjak hingga ke atas. Terhampar tanah cokelat yang siap menumbuhkan tanaman baru. Aku melihat terasering di bukit seberang, rumahku tersembunyi di balik rimbun pohon kelapa. Di kiri kanan terhimpun potongan pohon singkong yang siap ditancapkan. Jenis singkon...

Jejak Ki Hadjar Dewantara di Hardiknas 2024

 Siapa nama pahlawan nasional yang hari lahirnya dijadikan Hari Pendidikan Nasional? Pasti kalian sudah hafal di luar kepala. Beliau yang lahir dengan nama Raden Mas Soewardi Suryaningrat hingga akhirnya berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara di usia 40 tahun. Anak ke-5 dari 9 bersaudara yang memiliki keteguhan dalam memperjuangkan idealisme sepanjang hidupnya.  Kisah beliau seolah tak asing, seperti menonton perjalanan seorang changemaker yang bermula dari tumbuh suburnya empati. Meskipun lahir dari keluarga ningrat, Soewardi menangkap diskriminasi tentang hak pendidikan yang hanya dinikmati oleh keluarga priyayi dan Belanda. Sementara rakyat pribumi yang merupakan teman-teman bermainnya di masa kecil tak bisa mengakses fasilitas sekolah yang dibuat Belanda di zaman itu. Soewardi muda belajar di Yogyakarta, hingga berlanjut di STOVIA meskipun tidak sampai lulus. Tentu saja ini berkaitan dengan perjuangannya sebagai "seksi media" di Budi Utomo, menyebarkan tulisan yang ber...