Langsung ke konten utama

Tentang Mertua dan Menantu

Balada mertua-menantu seolah memiliki daya tarik selalu. Bukan hal baru, bahkan menjadi bumbu di cerita buku hingga ragam drama terbaru. Seolah menjadi maklum saat keduanya tak sejalan. Sang mertua memperebutkan perhatian anaknya yang mulai terbagi, sementara sang menantu tak mau juga dinomor duakan. Belum lagi perbedaan bentuk kasih sayang pada sang cucu. Perbedaan latar belakang, pendidikan, pola asuh, buku yang dibaca, tayangan yang dilihat, selera dapur, sudah tak kurang-kurang menambah daftar panjang celah antara keduanya.

Namun tak semua begitu. Banyak juga yang tetap memiliki hubungan yang sehat antara mertua-menantu. Saya sendiri? Status masih belajar jadi menantu, artinya ya masih sering juga bertanya-tanya bagaimana idealnya menantu di mata mertua.

Pertama kali bertemu calonnya mertua saat calon suami menyelesaikan studi S1nya di Jogja. Kesan pertama begitu menggoda, selanjutnya terserah Anda. Berharap masuk kualifikasi calon mantu, jadi  belum keluar lah "sisi kelam" si calon menantu ini. Sudah ndredeg ini itu, ternyata beliau berdua tak se-seram tokoh sinetron mertua menantu yang kerap ditambah adegan zoom in-zoom out.

Bapak mertua sosok yang sangat mengayomi. Dari pertama bertemu hingga kini, rasanya lebih banyak nasehat dan obrolan daripada bapak sendiri. Wajar lah ya, harapan bapak mertua memiliki anak perempuan sudah lama ada. Anak pertama laki-laki, anak keduanya diharapkan perempuan. Ternyata anak kedua, ketiga, hingga yang terakhir belum juga hadir anak perempuan. Konon dulu sebelum pak suami lahir, sudah disiapkan nama Ariyanti. Ternyata Ariyanto yang lebih tepat bagi bayi laki-laki itu. "Kok jadi nama Jawa ya, jangan-jangan jadi orang Jawa nantinya." Qodarullah, sudah menjadi takdir saya memenuhi doa bapak mertua. Membawa anaknya tinggal di "Jawa", padahal Jakarta kan juga masih di pulau Jawa.

Jangan heran betapa bahagianya bapak mertua saat dua cucu perempuannya lahir di Griya Wistara. Jujur ini salah satu dukungan bagi saya, tetap percaya diri di tengah masih adanya orang yang membanggakan anak laki-laki dibandingkan anak perempuan. Tapi dukungan utama tentu dari kapten Griya Wistara, yang tak jadi dinamai Ariyanti.

Lain cerita, kesan tentang ibu mertua. Sudah jangan ditanya tentang skill memasaknya. Nasi uduk dan segala menu pelengkapnya, lontong isi, soto betawi, sayur asem, hingga semur jengkol. Minimal semua menunya bikin kangen mudik ke ibukota. Saya yang tak bisa masak, bukan merasa terintimidasi. Justru saya merasa beruntung menikmati lezatnya masakan khas Betawi di rumah bumer. Biasanya saat beliau memasak, saya nimbrung di dapur. Jangan berharap saya yang masak, ekspektasi Anda terlalu tinggi. Menemani ngobrol, menyimak kisah anaknya yang kini menjadi pasangan hidup. Kisah yang tak diketahui anaknya pun mengalir begitu saja. Bahan sombong di depan anaknya, "Masa' nggak tahu cerita ini???".

Perbedaan latar belakang, suku, budaya, dan sebagainya jelas saya rasakan. Shock culture jangan ditanya. Tapi Alhamdulilah, Allah Maha Baik pada saya. Setahun sebelum menjadi menantu orang Betawi, saya punya kesempatan belajar banyak dari orang Betawi di lingkungan kerja waktu itu. Dialek khas seperti di film si Doel tentu tak asing, tapi masih banyak kata asing bagi saya. Beruntung ada translator dari penutur aslinya. Di sini pun saya belajar makan pete dan jengkol, dua menu yang saya eliminasi bahkan sebelum mencoba.

Menantu idaman? Jauh panggang dari api.  Saya saja yang beruntung menjadi bagian keluarga pak suami. Saya yang tak pandai memasak, menjadikan anaknya bumer sebagai tester ujicoba menu selama ini. Saya yang tak rajin beberes, tak terlalu tertarik berdandan, masih belajar mengurus anak, dan sederet kekurangan menjalankan peran sebagai istri dari anak ibu mertua serta ibu dari cucu-cucu beliau.

Mungkin segala aib menantu ini tertolong jarak, terbungkus rindu, hingga tak terdengar riuh seperti balada mertua menantu pada umumnya. Seperti pepatah Jawa, "yen adoh mambu wangi" jika jauh yang tercium aroma harumnya saja. Semoga beliau berdua menjadi wasilah surga kami, seperti halnya mengharap ridho kedua orangtua sendiri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Alir Rasa Kelas Bunda Cekatan

Alhamdulillah, puji syukur ke hadirat Allah Ta'ala yang telah memberikan kelapangan hingga mampu menyelesaikan kelas Bunda Cekatan batch #1 Institut Ibu Profesional.  Challenge Buncek: Done! Terimakasih untuk Ibu Septi Peni Wulandani yang telah menjadi guru bagi kami, setia membawa dongeng istimewa di setiap pekannya. Terimakasih untuk team belakang layar Buncek #1 (Mak Ika dkk), teman-teman satu angkatan, dan tentu all team Griya Wistara yang mendukung saya belajar sampai di tahap ini. Apa yang membuat bahagia selama berada di kelas Bunda Cekatan? Kelas Bunda Cekatan menyimpan banyak sekali stok bahagia yang bisa diambil oleh siapa saja dengan cara yang tak pernah sama. Rasanya tak ada habisnya jika harus disebutkan satu per satu. Potongan gambar berikut cukup mewakili proses yang telah saya lalui. Tahap Telur-Telur Saya jadi tahu apa yang membuat saya bahagia. Apa yang penting dan urgent untuk segera dipelajari. Dan saya diijinkan untuk membuat pe...

Oncek Tela; Tradisi Mengupas Singkong Bersama

 Sekitar tahun 2000-an, ada kegiatan membuka lahan baru di bukit seberang. Deru mesin pemotong kayu bersahutan. Pohon-pohon besar dicabut hingga ke akarnya. Entah kemana perginya hewan-hewan penghuni hutan. Berpindah tempat tinggal atau justru tersaji ke meja makan.  Aroma dedaunan serta kayu basah menyebar. Tak hanya lewat buku pelajaran IPA, aku bisa melihat langsung lingkaran tahun belasan hingga puluhan lapis. Pohon-pohon itu akhirnya menyerah dengan tangan manusia. Tunggu dulu... Mengapa orang-orang justru bersuka cita? Bukankah menggunduli hutan bisa berisiko untuk tanah di perbukitan seperti ini? Waktu berselang, pertama kalinya aku menapak ke bukit seberang. Setelah menyeberang dua tiga sungai, dilanjutkan jalan menanjak hingga ke atas. Terhampar tanah cokelat yang siap menumbuhkan tanaman baru. Aku melihat terasering di bukit seberang, rumahku tersembunyi di balik rimbun pohon kelapa. Di kiri kanan terhimpun potongan pohon singkong yang siap ditancapkan. Jenis singkon...

Jejak Ki Hadjar Dewantara di Hardiknas 2024

 Siapa nama pahlawan nasional yang hari lahirnya dijadikan Hari Pendidikan Nasional? Pasti kalian sudah hafal di luar kepala. Beliau yang lahir dengan nama Raden Mas Soewardi Suryaningrat hingga akhirnya berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara di usia 40 tahun. Anak ke-5 dari 9 bersaudara yang memiliki keteguhan dalam memperjuangkan idealisme sepanjang hidupnya.  Kisah beliau seolah tak asing, seperti menonton perjalanan seorang changemaker yang bermula dari tumbuh suburnya empati. Meskipun lahir dari keluarga ningrat, Soewardi menangkap diskriminasi tentang hak pendidikan yang hanya dinikmati oleh keluarga priyayi dan Belanda. Sementara rakyat pribumi yang merupakan teman-teman bermainnya di masa kecil tak bisa mengakses fasilitas sekolah yang dibuat Belanda di zaman itu. Soewardi muda belajar di Yogyakarta, hingga berlanjut di STOVIA meskipun tidak sampai lulus. Tentu saja ini berkaitan dengan perjuangannya sebagai "seksi media" di Budi Utomo, menyebarkan tulisan yang ber...