Langsung ke konten utama

Fitrah Perempuan


Bukan kebetulan, aku terlahir sebagai perempuan. Dominan otak kanan dan  perasa atas tiap keadaan. Bukan makhluk berdada bidang, namun dicipta kuat menghadapi setiap tantangan.

Seperti tentara yang berbekal senjata, bukan untuk menghancurkan sia sia tapi untuk menjaga. Seperti tukang kayu, dia takkan mengingkari peran palu menghasilkan manfaat lewat jutaan karya. Begitu pula fitrah Tuhanku atas tubuh yang dititipkan padaku.

Saat di rahim ini ditempati nyawa baru, keyakinanku menuntun untuk banyak-banyak menerima. Mencari tahu apa yang terjadi sebenarnya. Kemudian aku pun bersandar banyak-banyak pada Sang Pencipta. Betapa besar kuasaNya.

Ketika tiba waktu, terdengar tangisan haru yang menghapus segala rasa sakitku. Saat jaminan rejekiNya dititipkan lewat aku. Kembali aku diingatkan, bahwa inilah guna perangkat di tubuhku. Bukan sekedar hiasan yang mengindahkan tanpa tuju.

Dan kami terima hadiah terindah Rabb lewat kelahiran. Laksana tanaman, kami pun ikut tumbuh menggelar akar. Tak tega sembarangan mengganggu rekahan kuncup dedaunan. Meskipun khilaf kami hadir silih berganti membersamai ananda. Maka kepadaNya lah kami kembalikan segalanya.

Kini kupeluk kembali aroma rindu akan kehadiran nyawa di rahim ini.
Menata diri..
Menata hati..
Sepenuh jiwa membersamai ananda tetap pada fitrah diri.

Tak cukup langkah kami sampai pada hamil dan menyusui, masih panjang tugas kami hingga akil baligh mereka tiba. Karena merekalah generasi pengganti, sholih sholihah penyejuk hati.

Bunda Wistara,
Mlg, 08 April 2018

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Alir Rasa Kelas Bunda Cekatan

Alhamdulillah, puji syukur ke hadirat Allah Ta'ala yang telah memberikan kelapangan hingga mampu menyelesaikan kelas Bunda Cekatan batch #1 Institut Ibu Profesional.  Challenge Buncek: Done! Terimakasih untuk Ibu Septi Peni Wulandani yang telah menjadi guru bagi kami, setia membawa dongeng istimewa di setiap pekannya. Terimakasih untuk team belakang layar Buncek #1 (Mak Ika dkk), teman-teman satu angkatan, dan tentu all team Griya Wistara yang mendukung saya belajar sampai di tahap ini. Apa yang membuat bahagia selama berada di kelas Bunda Cekatan? Kelas Bunda Cekatan menyimpan banyak sekali stok bahagia yang bisa diambil oleh siapa saja dengan cara yang tak pernah sama. Rasanya tak ada habisnya jika harus disebutkan satu per satu. Potongan gambar berikut cukup mewakili proses yang telah saya lalui. Tahap Telur-Telur Saya jadi tahu apa yang membuat saya bahagia. Apa yang penting dan urgent untuk segera dipelajari. Dan saya diijinkan untuk membuat pe...

Oncek Tela; Tradisi Mengupas Singkong Bersama

 Sekitar tahun 2000-an, ada kegiatan membuka lahan baru di bukit seberang. Deru mesin pemotong kayu bersahutan. Pohon-pohon besar dicabut hingga ke akarnya. Entah kemana perginya hewan-hewan penghuni hutan. Berpindah tempat tinggal atau justru tersaji ke meja makan.  Aroma dedaunan serta kayu basah menyebar. Tak hanya lewat buku pelajaran IPA, aku bisa melihat langsung lingkaran tahun belasan hingga puluhan lapis. Pohon-pohon itu akhirnya menyerah dengan tangan manusia. Tunggu dulu... Mengapa orang-orang justru bersuka cita? Bukankah menggunduli hutan bisa berisiko untuk tanah di perbukitan seperti ini? Waktu berselang, pertama kalinya aku menapak ke bukit seberang. Setelah menyeberang dua tiga sungai, dilanjutkan jalan menanjak hingga ke atas. Terhampar tanah cokelat yang siap menumbuhkan tanaman baru. Aku melihat terasering di bukit seberang, rumahku tersembunyi di balik rimbun pohon kelapa. Di kiri kanan terhimpun potongan pohon singkong yang siap ditancapkan. Jenis singkon...

Jejak Ki Hadjar Dewantara di Hardiknas 2024

 Siapa nama pahlawan nasional yang hari lahirnya dijadikan Hari Pendidikan Nasional? Pasti kalian sudah hafal di luar kepala. Beliau yang lahir dengan nama Raden Mas Soewardi Suryaningrat hingga akhirnya berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara di usia 40 tahun. Anak ke-5 dari 9 bersaudara yang memiliki keteguhan dalam memperjuangkan idealisme sepanjang hidupnya.  Kisah beliau seolah tak asing, seperti menonton perjalanan seorang changemaker yang bermula dari tumbuh suburnya empati. Meskipun lahir dari keluarga ningrat, Soewardi menangkap diskriminasi tentang hak pendidikan yang hanya dinikmati oleh keluarga priyayi dan Belanda. Sementara rakyat pribumi yang merupakan teman-teman bermainnya di masa kecil tak bisa mengakses fasilitas sekolah yang dibuat Belanda di zaman itu. Soewardi muda belajar di Yogyakarta, hingga berlanjut di STOVIA meskipun tidak sampai lulus. Tentu saja ini berkaitan dengan perjuangannya sebagai "seksi media" di Budi Utomo, menyebarkan tulisan yang ber...