Langsung ke konten utama

Profesi dan Fitrah Bakat

Sebenarnya saya bingung ketika diminta untuk membedah profesi, karena faktanya saat ini saya pun termasuk ibu yang "galau" dalam memahami bakat diri. Bagaimana saya bisa mendampingi anak menemukan perannya nanti jika saya sendiri belum berhasil "niteni" peran diri??? Namun kembali lagi, saat membersamai makhluk surga di rumah konon "relaks dan optimis" menjadi senjata utama.

Perlahan saya belajar untuk percaya diri.

Profesi "ibu rumah tangga" masih sering dipandang sebelah mata. Bahkan saya pun dulu menganggap demikian, hukum sebab akibat pendidikan tinggi harus berkarir setinggi tingginya. Kemudian saat tiba waktu berganti status, saya dan suami bersepakat saya tidak bekerja di ranah publik. Kurangnya ilmu, membuat saya lebih banyak "mengalir" saja menjalani amanah ini. Padahal faktanya, ada banyak tanggungjawab yang sebenarnya tidak main-main diamanahkan pada profesi ibu rumah tangga.

Apa yang harus saya lakukan?

Jika di profesi lain, sudah jelas "job describtion" masing-masing. Oiya, profesi ini menyeleksi pegawai, ini menjaga kebersihan, ini melakukan pelatihan, dst. Saya benar-benar zero saat menjadi ibu. Padahal customer utama (baca: anak dan suami) sudah menanti.
Meskipun galau, saya yakin Allah tidak pernah salah dengan takdirNya. Mengulik kembali pengalaman belajar, oiya ada psikologi perkembangan yang bisa dipakai saat membersamai anak, pengalaman saat bekerja sebelumnya, tapi rasanya itu belum cukup. Dan terbukalah satu per satu forum belajar untuk menjadi ibu, sebutlah IIP, Sekolah Ibu, HEbAT, dan forum lain yang sejenis.

Ikut tumbuh saat membersamai ananda.

Setelah mengenal pendidikan berbasis fitrah, saya banyak berkaca tentang diri sendiri. Tenyata banyak fitrah kami sebagai orangtua yang tak tumbuh dengan baik. Bukan berarti orangtua kami dulu tidak mendidik, masih banyak pelajaran berharga yang dapat kami ambil dari didikan orangtua kami.
Alhamdulillah, hadirnya ananda adalah guru terbaik di rumah kami. Segala macam teori yang dipelajari tetap saja kalah dengan "belajar langsung" menghadapi kenyataan hidup.

Belajar menyemai fitrah keimanan, mengulang lagi dengan "hati" bukan sekedar hafalan yang berujung menjawab soal pilihan. Tak jarang, kalimat sederhana ananda memberi makna yang lebih berharga bagi kami memperbaiki diri.

Membersamai setiap rasa ingin tahu ananda, tak segan menjawab "mari kita cari bersama" saat orangtua pun tak tahu jawabannya. Mengamati segala hal tak biasa yang dilakukan ananda, sudah jelas anak-anak lebih kreatif dari orang dewasa.

Menjadi ayah dan ibu seutuhnya, wah yang ini sepertinya kami pun masih berproses.

Menemukan panggilan hidup, peran yang sesuai dengan potensi diri. Untuk yang ini, kami ingat betul pesan keluarga Padepokan Margosari: passion itu bukan sesuatu yang jauh dan berat, kita cukup menjalani tugas yang datang menghampiri dengan sepenuh hati. Berulang-ulang kita bisa niteni, mana yang paling membahagiakan hati. Bisa jadi itulah panggilan hidup diri.

Maka saat ini kami cukup menjalani, menikmati, lalu niteni apa yang membuat kami berbinar. Memahami diri, untuk dapat memandu ananda kemudian.

Bunda Wistara
Malang, 13-04-18

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Alir Rasa Kelas Bunda Cekatan

Alhamdulillah, puji syukur ke hadirat Allah Ta'ala yang telah memberikan kelapangan hingga mampu menyelesaikan kelas Bunda Cekatan batch #1 Institut Ibu Profesional.  Challenge Buncek: Done! Terimakasih untuk Ibu Septi Peni Wulandani yang telah menjadi guru bagi kami, setia membawa dongeng istimewa di setiap pekannya. Terimakasih untuk team belakang layar Buncek #1 (Mak Ika dkk), teman-teman satu angkatan, dan tentu all team Griya Wistara yang mendukung saya belajar sampai di tahap ini. Apa yang membuat bahagia selama berada di kelas Bunda Cekatan? Kelas Bunda Cekatan menyimpan banyak sekali stok bahagia yang bisa diambil oleh siapa saja dengan cara yang tak pernah sama. Rasanya tak ada habisnya jika harus disebutkan satu per satu. Potongan gambar berikut cukup mewakili proses yang telah saya lalui. Tahap Telur-Telur Saya jadi tahu apa yang membuat saya bahagia. Apa yang penting dan urgent untuk segera dipelajari. Dan saya diijinkan untuk membuat pe...

Oncek Tela; Tradisi Mengupas Singkong Bersama

 Sekitar tahun 2000-an, ada kegiatan membuka lahan baru di bukit seberang. Deru mesin pemotong kayu bersahutan. Pohon-pohon besar dicabut hingga ke akarnya. Entah kemana perginya hewan-hewan penghuni hutan. Berpindah tempat tinggal atau justru tersaji ke meja makan.  Aroma dedaunan serta kayu basah menyebar. Tak hanya lewat buku pelajaran IPA, aku bisa melihat langsung lingkaran tahun belasan hingga puluhan lapis. Pohon-pohon itu akhirnya menyerah dengan tangan manusia. Tunggu dulu... Mengapa orang-orang justru bersuka cita? Bukankah menggunduli hutan bisa berisiko untuk tanah di perbukitan seperti ini? Waktu berselang, pertama kalinya aku menapak ke bukit seberang. Setelah menyeberang dua tiga sungai, dilanjutkan jalan menanjak hingga ke atas. Terhampar tanah cokelat yang siap menumbuhkan tanaman baru. Aku melihat terasering di bukit seberang, rumahku tersembunyi di balik rimbun pohon kelapa. Di kiri kanan terhimpun potongan pohon singkong yang siap ditancapkan. Jenis singkon...

Jejak Ki Hadjar Dewantara di Hardiknas 2024

 Siapa nama pahlawan nasional yang hari lahirnya dijadikan Hari Pendidikan Nasional? Pasti kalian sudah hafal di luar kepala. Beliau yang lahir dengan nama Raden Mas Soewardi Suryaningrat hingga akhirnya berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara di usia 40 tahun. Anak ke-5 dari 9 bersaudara yang memiliki keteguhan dalam memperjuangkan idealisme sepanjang hidupnya.  Kisah beliau seolah tak asing, seperti menonton perjalanan seorang changemaker yang bermula dari tumbuh suburnya empati. Meskipun lahir dari keluarga ningrat, Soewardi menangkap diskriminasi tentang hak pendidikan yang hanya dinikmati oleh keluarga priyayi dan Belanda. Sementara rakyat pribumi yang merupakan teman-teman bermainnya di masa kecil tak bisa mengakses fasilitas sekolah yang dibuat Belanda di zaman itu. Soewardi muda belajar di Yogyakarta, hingga berlanjut di STOVIA meskipun tidak sampai lulus. Tentu saja ini berkaitan dengan perjuangannya sebagai "seksi media" di Budi Utomo, menyebarkan tulisan yang ber...