Langsung ke konten utama

Warisan Orangtua

Kemarin ketemu ibu-ibu, yang satu anaknya 5 (dan sedang hamil yang ke6), yang satu lagi temen sebangku anaknya 3 (sedang hamil yg ke 4).

Pesan dan kesannya sama:
"Punya anak 1-2 itu paling ribet, setelah anak ke 3 dan seterusnya biasanya lebih mudah karena sudah ada yang bisa di #delegasi-kan untuk tugas yang bisa didelegasikan."

Wah, ga sesuai program KB dong? KB itu kan keluarga berencana, jadi saya ga tahu rencananya tiap keluarga mau punya anak berapa. Dan saya lebih ga tahu lagi, setiap keluarga mau diberi amanah anak berapa olehNya.

Ngomong-ngomong soal jumlah anak, ternyata Bapak saya 14 bersaudara (meninggal 3 sewaktu kecil). Dari keluarga ibuk ga sebanyak itu, "cuma" level 5 bersaudara. Dan alhamdulillah semua jadi orang. Besok lah kita tanya, kenapa ga dilanjut potensi "anak banyak" ini. Mungkin karena taat pada aturan pemerintah, secara dulu pegawai negeri itu musti ikut apa kata negara. Itu kenapa saya belum minat jadi Pe-eN-eS.

Boleh lah besok kita tanya sama mbah yut-nya Farza. Gimana dulu cara membesarkan anak-anaknya. Secara dulu mbah kakung tukang kayu yang juga petani, sedangkan istrinya pedagang yang sampai sekarang pun masih dilakoni. Tinggalnya di pegunungan, pasar jauh bro.. jalan kaki berkilo-kilo. Sekarang aja udah enak ada mobil bak (bukan bis, bukan angkot). Mbahmu tinggal di mana lho? Trenggalek kota seribu bukit, dan mbah tinggal di salah satu bukit itu.

Masih tersisa cerita-cerita bapak ibuk di masa sekolahnya dulu. Tentang mereka yang harus "mbebak" sebelum pergi sekolah. Membawa dagangan pisang ke pasar sambil pergi ke sekolah. Layang-layang dari daun jati buatan mbah kakung untuk bapak sebelum kepulangannya. Atau kenangan pakpuh tentang sawah, sungai, bebas berenang.

Lihat begitu banyak kesan positif yang ditinggal orangtua dulu saat anak-anaknya dewasa. Bekal melewati zaman yang tak lagi se-ramah dulu.

Sebelum ada yang nanya, "Mau nambah ya?", saya jawab dulu: IYA.. insya Allah sesuai rencana yg sudah disepakati (katanya suruh KB) dan...tentunya atas izin Allah SWT. Masih kepo kapan dan berapa??

Buat yang mau nambah, monggo... ^_^ #kode #tehkibar #SI #FBE #fitrahkeimanan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Alir Rasa Kelas Bunda Cekatan

Alhamdulillah, puji syukur ke hadirat Allah Ta'ala yang telah memberikan kelapangan hingga mampu menyelesaikan kelas Bunda Cekatan batch #1 Institut Ibu Profesional.  Challenge Buncek: Done! Terimakasih untuk Ibu Septi Peni Wulandani yang telah menjadi guru bagi kami, setia membawa dongeng istimewa di setiap pekannya. Terimakasih untuk team belakang layar Buncek #1 (Mak Ika dkk), teman-teman satu angkatan, dan tentu all team Griya Wistara yang mendukung saya belajar sampai di tahap ini. Apa yang membuat bahagia selama berada di kelas Bunda Cekatan? Kelas Bunda Cekatan menyimpan banyak sekali stok bahagia yang bisa diambil oleh siapa saja dengan cara yang tak pernah sama. Rasanya tak ada habisnya jika harus disebutkan satu per satu. Potongan gambar berikut cukup mewakili proses yang telah saya lalui. Tahap Telur-Telur Saya jadi tahu apa yang membuat saya bahagia. Apa yang penting dan urgent untuk segera dipelajari. Dan saya diijinkan untuk membuat pe...

Oncek Tela; Tradisi Mengupas Singkong Bersama

 Sekitar tahun 2000-an, ada kegiatan membuka lahan baru di bukit seberang. Deru mesin pemotong kayu bersahutan. Pohon-pohon besar dicabut hingga ke akarnya. Entah kemana perginya hewan-hewan penghuni hutan. Berpindah tempat tinggal atau justru tersaji ke meja makan.  Aroma dedaunan serta kayu basah menyebar. Tak hanya lewat buku pelajaran IPA, aku bisa melihat langsung lingkaran tahun belasan hingga puluhan lapis. Pohon-pohon itu akhirnya menyerah dengan tangan manusia. Tunggu dulu... Mengapa orang-orang justru bersuka cita? Bukankah menggunduli hutan bisa berisiko untuk tanah di perbukitan seperti ini? Waktu berselang, pertama kalinya aku menapak ke bukit seberang. Setelah menyeberang dua tiga sungai, dilanjutkan jalan menanjak hingga ke atas. Terhampar tanah cokelat yang siap menumbuhkan tanaman baru. Aku melihat terasering di bukit seberang, rumahku tersembunyi di balik rimbun pohon kelapa. Di kiri kanan terhimpun potongan pohon singkong yang siap ditancapkan. Jenis singkon...

Jejak Ki Hadjar Dewantara di Hardiknas 2024

 Siapa nama pahlawan nasional yang hari lahirnya dijadikan Hari Pendidikan Nasional? Pasti kalian sudah hafal di luar kepala. Beliau yang lahir dengan nama Raden Mas Soewardi Suryaningrat hingga akhirnya berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara di usia 40 tahun. Anak ke-5 dari 9 bersaudara yang memiliki keteguhan dalam memperjuangkan idealisme sepanjang hidupnya.  Kisah beliau seolah tak asing, seperti menonton perjalanan seorang changemaker yang bermula dari tumbuh suburnya empati. Meskipun lahir dari keluarga ningrat, Soewardi menangkap diskriminasi tentang hak pendidikan yang hanya dinikmati oleh keluarga priyayi dan Belanda. Sementara rakyat pribumi yang merupakan teman-teman bermainnya di masa kecil tak bisa mengakses fasilitas sekolah yang dibuat Belanda di zaman itu. Soewardi muda belajar di Yogyakarta, hingga berlanjut di STOVIA meskipun tidak sampai lulus. Tentu saja ini berkaitan dengan perjuangannya sebagai "seksi media" di Budi Utomo, menyebarkan tulisan yang ber...